KOMPAS.com - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo mengatakan angka perceraian di Indonesia naik pesat sejak 2015.
Jumlahnya mencapai 581.000 kasus di tahun 2021 dengan jumlah pernikahan satu tahun sebanyak 1,9 juta.
Menurutnya, angka perceraian tinggi karena toxic relationship yang mewarnai pernikahan tersebut.
"Asalnya adalah orang toxic bertemu orang waras, orang waras bertemu orang toxic atau orang toxic bertemu orang toxic akhirnya kelahi terus dan terjadilah perceraian,” ujar mantan bupati Kulon Progo itu.
Baca juga: BKKBN Sebut Tingginya Angka Perceraian karena Toxic People, Apa Itu?
Ia mengingatkan, hubungan orangtua yang penuh kasih sayang merupakan fondasi penting untuk mendidik anak.
Pernikahan yang diwarnai toxic relationship berdampak negatif pada anak-anak karena pribadi mereka yang masih muda, rentan serta mudah dipengaruhi.
Hubungan yang tidak bahagia antara orangtua itu sering kali sarat dengan rasa tidak hormat, manipulasi emosional dan kekerasan, baik secara metal, verbal atau fisik serta minim empati.
Bukannya fokus membesarkan buah hati, orangtua malah mengutamakan kebutuhan dan keinginannya sendiri.
Akibatnya, anak merasa tidak aman dan traumatis sehingga berdampak secara psikologis dalam jangka panjang.
Baca juga: 5 Toxic People dalam Hubungan Asmara, Awas Terjebak Pesonanya
Dikutip dari Raising Children, berikut adalah dampak buruk yang dirasakan anak dari toxic relationship orangtua.
Ketegangan antara orantua dan pertengkaran yang mungkin terjadi serta efeknya menciptakan lingkungan yang penuh tekanan bagi anak-anak.
Mereka merasa tidak aman di rumah dan di tengah keluarganya, yang seharusnya menjadi perlindungan utama.
Amarah tersebut bisa memicu perilaku agresif yang meledak sewaktu-waktu.
Toxic relationship juga menjadi contoh buruk soal manajemen konflik karena orangtuanya tidak mampu menyelesaikan perselisihan dengan baik.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Toxic Relationship, Ciri, dan Efeknya untuk Kesehatan