Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

10 Tahun Perjalanan Cotton Ink, Berawal dari Facebook dan Modal Minim

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa orang mungkin pernah mengira Cotton Ink adalah label asal luar negeri, bahkan satu kelompok dengan ritel busana kasual seperti H&M, Pull & Bear, Stradivarious, Cotton On, atau beberapa ritel lainnya yang sering kita lihat berjajar di pusat perbelanjaan kelas menengah ke atas.

Padahal, Cotton Ink adalah label yang dibangun oleh dua perempuan asal Indonesia, yakni Carline Darjanto dan Ria Sarwono.

Dibentuk November 2008 lalu, Cotton Ink akan genap berusia 10 tahun November mendatang.

Perayaan 10 tahun Cotton Ink yang bertajuk “Celebrating Women” diawali dengan peluncuran koleksi busana bersama empat figur publik ternama Indonesia.

Mereka adalah Isyana Sarasvati, Vanesha Prescilla, Dian Sastrowardoyo, dan Raisa Andriana.

Koleksi masing-masing diluncurkan berkala mulai September dan koleksi terakhir akan hadir pada November 2018.

“Bisa dibilang puncak acara perayaan 10 tahun kami akan ditandai dengan fashion show tunggal bersama dengan koleksi empat kolaborator kami dan special item yang akan kami share 24 Oktober di JFW,” kata Carline.

10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Siapa yang menyangka ternyata label ini dibangun hanya dengan modal awal Rp 1 juta saja?

Ide berbisnis pakaian pada awalnya tercetus lewat obrolan santai Carline (Creative Director Cotton Ink) dan Ria (Brand & Marketing Director Cotton Ink). Keduanya sudah berteman sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Sudah berapa tahun, ri? tanya Carline seraya melirik Ria.

"Sudah 18 tahun sampai sekarang. Kami pertama kali kenal sekolah bareng di (Santa) Ursula. SMA juga bareng, kuliah aku di Paramadina, Carline sempat kuliah bisnis di Malaysia lalu di sini ambil fashion design. Lalu, eh kita bikin sesuatu yuk. Modalnya juga enggak puluhan juta ya. Seinget aku cuma sejuta. Aku Rp 500.000, Carline Rp 500.000," jawab Ria.

“Spontan aja sih enggak kepikiran akan 10 tahun. Cotton kan identik dengan nyaman jadi maksudnya baju kita nyaman, ink identik dengan warna jadi kita memiliki berbagai macam warna untuk berbagai macam wanita. Warna di sini maksudnya sebagai gaya wanita ya,” tutur Carline.

 Berawal dari Facebook

Lapak pertama Cotton Ink adalah laman Facebook, media sosial yang sedang meroket 10 tahun silam.

Cara pemasaran mereka saat itu sebetulnya sangat tradisional. Misalnya, melakukan aktivitas pemesanan melalui surat elektronik dengan format khusus. Nama dan alamat tujuan pun pernah mereka tulis sendiri menggunakan tangan.

"Pernah enggak nyampai (ke pemesan) karena tulisan saya salah hahaha, emang dari nol banget. Tapi sampai sekarang Alhamdulillah belum pernah pinjam duit, kami self funding. Uang kami puterin terus," kata Carline.

Carline dan Ria merasa, Cotton Ink berdiri pada waktu yang tepat. Bisnis media sosial 10 tahun silam tidak seramai saat ini. Ketika mereka memulai, penjualan bahkan mengandalkan informasi dari mulut ke mulut.

"Waktu itu aku percaya, word of mouth marketing sangat pengaruh," ujar Ria.

"Orang-orang belum main IG kami sudah masuk duluan. Jadi istilahnya kami sudah mengumpulkan massa duluan," kata Ria.

Pada awal berbisnis, Carline dan Ria mengurusi segala sesuatunya berdua saja. Bahkan mulai dari proses pemilihan kain. Dulu keduanya bahkan rajin pergi ke toko kain untuk berburu bahan ketika belum memiliki akses yang luas dengan pemasok kain.

“Masih beli ketengan, masih keliling-keliling cari bahan yang bagus di macam-macam pasar. Tanah Abang kek, Mayestik kek, pokoknya kami cari-cari saja. Jujur itu capek banget sih,” kenang Carline.

“Seminggu bisa dua kali,” sahut Ria. “Pakai (mobil) Luxio di bagasi sampai isinya gulungan-gulungan kain.”

Totalitas keduanya dalam menjalankan bisnis pakaian bahkan terbawa pula ketika sedang berlibur di luar negeri.

“Pernah pergi sama Ria ke Bangkok, jalan-jalan setelah capek kerja. Eh ke toko kain juga terus beli kain,” ucap Carline sambil tertawa. “Maksudnya, kami benar-benar dulu kerjain semua sendiri dan menganggap Cotton Ink kayak anak sendiri.”

Tak hanya menjajal penjualan secara online, Cotton Ink juga memiliki tiga gerai offline Cotton Ink di Jakarta, yaitu Plaza Senayan, Pondok Indah Mall 2 dan Kota Kasablanka. Beberapa kota lainnya juga sempat disambangi Cotton Ink lewat pop up storenya.

Merasa baru mampu menguasai pasar Pulau Jawa, Cotton Ink juga memiliki keinginan untuk memperluas jangkauan pasarnya ke daerah-daerah lain di Indonesia.

Tawaran membuka toko-toko baru sebetulnya sudah banyak berdatangan. Namun, keduanya ingin memastikan membuka toko di lokasi terbaik.

“It’s about time, lah. Mudah-mudahan dalam tiga tahun ini kami sudah bisa jangkau lebih jauh untuk offline store,” kata Ria.

Melawan ego pribadi dan inovasi kompetitor

Carline dan Ria memang sudah sejak lama berteman. Namun, ketika memulai bisnis bersama keduanya juga menghadapi berbagai tantangan sebagai rekan bisnis. Mulai dari perbedaan argumentasi, komunikasi yang kurang lancar, hingga pertengkaran.

Gesekan tersebut seringkali berawal dari kritik kinerja yang dianggap sebagai hal personal.

Keduanya kemudian menyadari bahwa perlu ada penyesuaian ketika hubungan mereka berubah dari pertemanan biasa menjadi rekan bisnis.

Gesekan-gesekan ternyata muncul karena saat itu belum ada pembagian tugas yang adil sehingga keduanya kerap melakukan pekerjaan yang sama.

Mereka pun melakukan pembagian tugas. Carline mengurusi bagian desain dan produksi, sedangkan Ria mengurusi bagian marketing dan branding.

“Ketika dipisahkan, semuanya lebih lancar. Mengutip kata Ria, berantem itu sehat asalkan outputnya menjadi sebuah konklusi jangan jadi berantem dan marah-marahnya saja,” ucap Carline.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pesaing bermunculan. Sekarang kita juga bisa melihat banyak sekali orang yang berjualan pakaian lewat media sosial. Tak mesti memproduksinya sendiri, kita bahkan bisa mulai menjual pakaian dengan menjual produk orang.

Meski begitu, mereka tak hanya mengandalkan faktor keberuntungan. Sebab, banyak pula rekan seperjuangan mereka saat itu yang kini bertumbangan dan tidak melanjutkan bisnisnya.

Inovasi, kata Carline, adalah kunci keberhasilan tersebut.

“Sustainability adalah yang paling susah. Jual, bikin baju bahkan reseller bisa, tapi apakah toko itu bisa bertahan hingga 10 tahun lagi? Visi kami jelas mau jadi Indonesian local brand yang bisa dibanggakan,” kata Carline.

Dalam membuat setiap busana, Cotton Ink masih melalui revisi demi revisi untuk menghasilkan pakaian yang terbaik.

Carline mengatakan, Cotton Ink selalu berusaha menciptakan pakaian yang akan membuat pelanggannya tampil sempurna dan tidak membuat para perempuan merasa gendut memakai pakaian tersebut.

“Kami tahu perempuan punya ukuran tubuh yang berbeda-beda. Kami ingin ketika baju itu sampai ke customer, mereka bisa merasa menjadi dirinya yang terbaik dan membuat percaya diri,” tutur Carline.

Cerita 10 tahun Cotton Ink membuat kita semua belajar bahwa siapa saja bisa bermimpi dan mimpi itu tak mustahil untuk dicapai asalkan diiringi oleh kerja keras.

“Istilahnya kami ingin jadi Zara, H&M-nya Indonesia. Jauh sih, tapi harus ada yang bisa melakukan dan bisa memberikan style, kualitas yang bersaing,” ucap Carline.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/08/061021520/10-tahun-perjalanan-cotton-ink-berawal-dari-facebook-dan-modal-minim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke