Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bermain Jadi "Dokter" Sendiri, Berujung Ngeri

Pasien milenial memang tak ada duanya dibanding --tak usah jauh-jauh-- pasien jaman sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya, kasihan juga para dokter yang masih mengandalkan cara praktek kuno: pasien datang, ditanya keluhan, di’periksa’ ala kadarnya – lalu diberi resep dan selesai.

Lebih gawat lagi jika yang jadi pasien adalah ‘penderita langganan’ – yang sebetulnya bertemu dokter hanya karena butuh resep ulangan entah itu obat diabetes, hipertensi, kolesterol, pengencer darah dan selama ini dianggap menyelamatkan nyawa – tanpa harus mengubah perilaku penyebab penyakitnya.

Tipe pasien seperti ini tipikal ditemui di poli rawat jalan rumah sakit dengan layanan asuransi yang antrinya sejak subuh, atau poli puskesmas yang lucunya paling sesak berjejal di hari Senin atau Jumat.

Pasien milenial tidak akan sudi turut mengantri dengan cara begitu. Mereka biasanya mudah ditemui di praktek-praktek swasta yang dokternya ramai dibahas di medsos (baca: komunitas khusus) atau yang dokternya terkenal karena pasiennya kelas papan atas.

Menangani pasien begini ada sensasi ‘ngeri-ngeri sedap’ tersendiri. Pertama, pasien biasanya datang dengan satu tas hasil pemeriksaan (yang kerap kali mereka periksa ke laboratorium sendiri tanpa pengantar dokter) dan satu lembar daftar pertanyaan. Sidang disertasi saja kadang kalah tegang.

Kedua, dokter harus siap menjadi wasit bagi pasien yang justru membutuhkan ‘opini ketiga – atau bahkan – ke empat’. Setelah ia lelah jajan dokter keliling nusantara, bahkan dunia bila perlu.

Ketiga, siap-siap tepok jidat mendengar pasien menghujat dokter yang dikunjungi sebelumnya bahkan memutuskan henti obat mendadak karena setelah melakukan proses ‘telaah literatur’ (baca: googling) ternyata ia menemukan obatnya punya banyak ‘efek samping yang mengkhawatirkan’.

Keempat, jangan syok bila pasien jika ditanya,"Jadi,....tujuan anda menemui saya?” Maka jawabnya,”Mau sembuh!” padahal ia dalam kondisi kanker lanjut dengan anak sebar di mana-mana dan saya sendiri bukan spesialis onkologi.

Dengan kata lain, di saat pasien menyerah dengan penyakitnya, maka dokter diharapkan pasien menjadi dukun ajaib.

Pernah ada kejadian seorang pasien wanita berperawakan kurus pucat datang ke saya dengan ‘tanpa keluhan’ kecuali ingin mendapatkan panduan ‘hidup lebih sehat lagi’.

Mati-matian beliau mengatakan hidupnya baik-baik saja. Bahkan sudah lama ‘mengikuti pola makan ajaran Dr.Tan’ (kenal saya saja belum).

Setelah usut mengusut ternyata ia rajin membaca bermacam-macam buku kesehatan, rutin membuka video di ponsel dan mendapat terusan informasi dari teman-temannya yang (katanya) mantan pasien saya.

Dengan rasa penasaran bercampur ngeri, saya berhasil mengorek apa yang diyakininya sebagai ‘pola makan sehat’. Setiap pagi hanya makan sayur dan buah – itupun ‘dibela-belain’ yang organik, plus madu yang harganya ratusan ribu.

Telur pun hanya dimakan bagian putihnya. Tidak lagi makan tempe tahu, karena takut berisiko kanker payudara (sebab ibunya meninggal terkena kanker payudara). Tidak lagi makan makanan laut takut kolesterol.

Ketika saya desak ilmunya dari mana, ia kukuh menjawab “Kan saya baca, Dok! Itu dari penelitian loh. Kan dokter sendiri kata teman saya bilang bahwa kuning telur itu ada kolesterolnya!” – suaranya makin tinggi dengan mata membulat hampir loncat dari dari rongga cekungnya.

Menghadapi pasien model begini, kesabaran tingkat dewa amat diperlukan. Hingga akhirnya kebenaran muncul satu-per satu. Mulai dari nama saya yang dicatut sana sini (karena akhirnya ia membuka pesan berantai dari ponselnya) – yang dengan ngeri pesan itu diberi imbuhan pribadi si penulis pesan: peringatan keras tentang bahaya sumber pangan tertentu, dan penganiayaan istilah kolesterol sebagai momok yang berhasil meningkatkan derajat panik pembacanya.

Sebagai dokter, memberi ceramah atau seminar rupanya harus tegas pula memperingatkan publik bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bisa seenaknya dicatut, dicaplok lalu disambung-sambungkan dengan tafsir pribadi.

Tidak salah bila dokter menyebut kuning telur mengandung kolesterol – tapi bahwa gara-gara sehari mengonsumsi satu butir telur beserta kuningnya apakah kolesterol langsung melejit? Ini sama sekali ngawur.

Bahkan dalam publikasi Harvard School of Public Health jelas-jelas disebutkan, 80% kolesterol manusia dibuat sendiri oleh hatinya. Kok bisa? Tentu, karena manusia juga butuh kolesterol. Dalam limit normal pastinya.

Setelah ‘ngobrol’ panjang lebar sambil meluruskan masalah, pasien wanita tadi akhirnya mengaku telah sekian lama bermain ‘dokter-dokteran’ sendiri karena paranoiditasnya terhadap praktek dokter.

Ia juga mengamini akibat bermain dokter-dokteran itu: pola haid berubah, rambut rontok, dan teman-temannya mengatakan ia mudah tersinggung apalagi jika dibilang badannya terlalu kurus.

Ia pun terkecoh dengan banyak bacaan internet yang menyitir istilah ‘penelitian’. Ternyata ia tidak paham bahwa penelitian banyak derajatnya, untuk bisa dipercaya apalagi dijadikan pedoman baku. Sebuah studi kasus dan penelitian meta analisis, di mata cendekia punya derajat kesahihan yang amat jauh berbeda.

Di akhir pembicaraan dengan pasien itu, saya menitipkan pesan bahwa semua yang disebut sehat harus juga punya nilai seimbang. Amat tidak normal sarapan hanya diisi sayur dan buah – walaupun tidak ada yang menyangkal buah itu sehat.

Ikan dan semua hasil laut, masih aman disebut sehat kok. Jika tidak, bangsa Jepang sudah punah sejak kapan-kapan. Mereka pemakan seafood terbesar di muka bumi.

Tapi mengapa bangsa Indonesia dan Cina pemakan seafood yang sama lalu kolesterolnya acakadul? Jawabannya ada di cumi goreng tepung cocol mayones, kepiting saus tiram (yang tidak ada tiramnya), dan udang pancet goreng mentega plus nasi putih setengah bakul. Padahal kita sejak lama mengenal pepes udang atau capcay kuah seafood.

Mungkin karena hujatan kuno dan tidak kekinian – karma besar akhirnya menerpa. Justru sebaliknya, produk industri yang katanya ‘memenuhi gizi seimbang’ tidak mungkin disebut pangan sehat – karena sudah masuk kategori ultra proses.

Tulisan panjang ini barangkali dapat membuat kita mundur sejenak untuk tidak gegabah menerapkan gaya ‘dokter on line’ atau lebih gawat lagi: membiarkan publik tanpa literasi mendalam mengakses interpretasi hasil pemeriksaannya dengan aplikasi canggih, memesan obatnya sendiri, mereka-reka sendiri bagaimana prognosis penyakitnya, belum lagi jika ia mendadak berganti profesi menjadi ‘dokter tanpa sertifikasi’ bagi keluarganya.

Sekolah jadi dokter itu amat lama, menghabiskan usia dan kesabaran bahkan. Bukan soal ilmunya banyak dan kompleks, tapi kematangan dokternya sendiri sebagai pengemong keberlangsungan hidup manusia perlu melalui proses yang benar dan baik.

Ilmu kesehatan barangkali satu-satunya keilmuan yang menjadi titik temu sains, perilaku , kearifan, etika tanggung jawab dan antroposentrisme yang menemukan kejayaannya sejak abad pencerahan. Di tangan yang salah, semuanya bakal jadi masalah. Di tangan yang benar, suatu bangsa bisa tumbuh jadi besar.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/12/050500220/bermain-jadi-dokter-sendiri-berujung-ngeri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke