Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Itu sebelum blunder hoax politik membuat orang semakin kelihatan tidak sehat. Kadang muncul rasa penasaran saya, apa yang membuat manusia begitu cepat menyebarkan beragam informasi yang terkadang masuk akal saja tidak.

Misalnya, sebelum kesimpulan benar atau salah – akal sehat mestinya mampu mempertanyakan kewarasan manusia untuk minum jus pete atau jengkol demi mengusir kanker.

Atau mengunyah bawang putih setiap hari agar bebas serangan jantung, sampai membuat teman tidur sengsara menanggung hembusan bau mulut – yang begitu dahsyatnya, hingga bawang putih diberi julukan ‘pengusir setan’. Setan saja ngeri apalagi orang.

Jika hoax politik, tentunya mempunyai motivasi kampanye jahat dan merugikan lawan politik, serta membawa barisan pendukung berbalik arah, lalu apa untungnya berbagi hoax soal kesehatan? Padahal, kerap kali bahkan tidak membawa nama produk, apalagi bernada komersial.

Sesederhana memeringati orang akan bahaya makan udang dengan vitamin C, atau selagi makan jangan sambil minum – karena enzim pencernaan bisa ‘kelewat encer’. Berita ngawur begini, mau menguntungkan siapa?

Selidik punya selidik, entah pembuat hoax yang pertama atau pengedar sekaligus merangkap editor hoax (karena makin jauh berita terusan ini berkembang, makin seru imbuhannya) – biasanya mengutip penggalan kalimat berbau saintifik, bahkan tak jarang menyebut nama institusi dan profesornya sekalian biar kedengaran lebih afdol.

Jika hoax bermuatan politik saja ada celah lengah tanpa diperiksa kebenaran ceritanya, maka hoax kesehatan lebih gawat lagi : ditelan mentah-mentah, diamini, bahkan diteruskan dengan gaya lebih meyakinkan.

Dari sekian lama pengamatan saya, usia produktif masih bisa dikategorikan lumayan dalam hal kekritisan menerima berita – bahkan mereka yang tergolong kelompok ini masih mau bertanya pada pihak yang lebih kompeten.

Konfirmasi kebenaran klaim kesehatan menjadi hal yang amat penting, sebelum mereka ibaratnya ‘mempertaruhkan harga diri’ dan menanggung malu jika ternyata klaim itu salah bahkan hoax.

Nah, yang justru ngeri dan rentan adalah kelompok senior: yang pagi hari sudah tidak perlu ke kantor atau tidak ada cucu yang harus dijaga. Menyalakan ponsel, membuka pesan masuk, dan menjelajah Facebook sudah menjadi rutinitas para pensiunan dan ibu-ibu sepuh.

Menyapa, bertegur sapa, menjangkau orang lain adalah sisi kemanusiaan dan cara bersosialisasi yang masih kental pada diri generasi yang saat ini berusia 60 tahun ke atas. Yang masih mau berguna bagi siapa saja, sekalipun kantor sudah memberi jatah pensiun.

Nah, saat membaca jurus-jurus mujarab maupun ancaman penyakit, sambil mengingat sesama teman yang sepuh, jari tanpa kontrol langsung memilih tombol “diteruskan, kirim!” – yang tahu-tahu sudah menyebar viral di grup alumni, grup arisan, hingga grup keluarga.

Jangan salah, ini bukan hanya modus para pensiunan kantor atau ibu-ibu. Perilaku yang sama dilakukan oleh para dokter senior. Yang sudah surut dari jalur akademik, yang sudah merasa diri ‘tidak dianggap’ oleh generasi yang lebih muda.

Merasa berguna, ingin dihargai, dan menjadi bermakna adalah sangat manusiawi. Barangkali konteks di atas akan saya kaitkan dengan pasangan terheboh di dunia minggu ini: Pangeran Harry dan Meghan Markle.

Siapa yang tidak kenal cucu Ratu Elizabeth yang berambut merah, berewokan, menikah dengan bintang film ‘Afro-American’ dan sedang berlibur (yang katanya ‘kerja’ membawa misi kerajaan) selama dua pekan di Australia?

Jujur, saya mengikuti pemberitaan mereka yang selalu mengambil pokok berita Daily Mail dari hari ke hari. Terutama, setelah pasangan ningrat ini memberitakan kehamilan Meghan yang begitu heboh dengan prosedur kerajaan rumit penuh tata krama.

Hingga ia merasa perlu menyembunyikan dahulu perutnya yang membuncit dengan lipit baju atau map berwarna magenta yang tidak biasanya menjadi ‘bawaan’ anggota kerajaan saat turun pesawat. Dunia maya pun penuh cuitan pujaan sekaligus hujatan.

Di luar hiruk pikuk dunia mengomentari kedua orang ini, mereka senantiasa menunjukkan romantisme terbuka yang sebetulnya tabu bagi siapa pun yang mengaku keluarga kerajaan Inggris Raya.

Tapi yang saya lihat dari seorang perempuan bernama Meghan dan pangeran pujaannya adalah gairah tentang kehidupan.

Mereka begitu terlibat dalam irama hidup, saling menyentuh, saling menghargai, saling memuja. Semua yang dibutuhkan oleh sanubari manusia normal.

Saat orang sudah tidak lagi merasa dihargai apalagi dibutuhkan, maka seluruh makna hidup luruh lantak. And the world stands still. Dan dunia tak lagi berputar.

Barangkali jika ditelaah dari sudut pandang lebih luas, kakak beradik kedua pangeran bersama istri-istri mereka yang modis dan menggemparkan dunia fesyen itu sedang mengajarkan dunia tentang kesehatan mental. Dan memang, mereka saat ini mengayomi berbagai kegiatan lembaga amal kesehatan mental.

Seperti halnya definisi sehat oleh lembaga kesehatan dunia WHO, disebutkan sehat itu tidak melulu soal kesejahteraan fisik – tapi juga sehat secara kejiwaan, rohani, bahkan sosial ekonomi, dan kultur yang melingkupi manusia.

Betapa memilukannya jika di usia paruh baya, seorang pensiunan hanya merasa seperti ‘kakak’ bagi istrinya. Atau sang istri cuma dianggap tukang masak dan penampung keluhan.

Tidur pun tinggal ‘punggung ketemu punggung’. Yang satu mudah terlelap dan mengorok sepanjang malam, sementara pasangannya masih menonton televisi dengan pikiran menerawang.

Jadi, seringkali saya perlu memberi ‘resep’ tambahan bagi pasien – terutama yang sebetulnya enggak berat-berat amat penyakitnya, tapi ia justru menderita sindroma kesepian.

Seperti yang dirilis oleh salah satu jurnal kesehatan, kesepian adalah suatu fakta yang membuat orang lebih cepat pikun dan meninggal sebelum waktunya.

Kesepian di tengah keramaian adalah yang paling mematikan. Saat orang-orang serumah sibuk dengan pekerjaannya, walaupun secara fisik mereka semua tinggal serumah dan makan bersama – tapi faktanya mereka ‘tidak ada’ bagi satu sama lain.

Ponsel dan dunia maya adalah pelarian masa kini, di mana orang-orang yang ‘sakit’ karena kesepian dan ditinggalkan mulai menemui makna keberadaannya.

Ucapan terima kasih atau sekadar emotikon menjawab pesan berantai membuat sang pengirim dihargai.

Walaupun yang dikirim tanpa disadarinya adalah berita bohong. Mulai dari yang telak-telak kelihatan bohong, hingga yang dipoles dengan nuansa intelek.

Banyak gangguan kejiwaan dan penyakit sulit sembuh yang sebetulnya ungkapan dari ‘batin yang menjerit’. Teriakan lirih untuk dihargai, disentuh, dan ditanya.

Bisa jadi salah satu dari mereka adalah orang terdekat kita sendiri. Yang sudah mulai menua, tapi masih butuh disapa. Dan dipeluk mesra seperti Harry dan Meghan Markle.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/24/090300920/hoax-kesehatan-itu-hasil-berbagi-dari-yang-tidak-sehat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke