Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pascatsunami, Mari Evaluasi Gizi dan Edukasi

Kondisi Labuhan di kabupaten Pandeglang amatlah jauh dari gambaran area rekreasi dan plesir yang selama ini kita bayangkan.

Penduduk yang biasanya melayani wisatawan dan memanjakan pendatang dengan berbagai suguhan kuliner pesisir dan keindahan pantai, sekarang justru menampilkan kenyataan sehari-hari yang ternyata tidak jauh beda dari masyarakat terdampak bencana di wilayah kepulauan Nusantara.

Sekalipun di sekeliling mereka kaya akan bahan pangan dan kemurahan alam, tapi hal itu seakan tidak nampak di mata mereka.

“Nyanyian klasik” permintaan warga di daerah terdampak bencana selain selimut, perlengkapan sehari-hari, dan makanan instan bagi orang dewasa, mereka juga mengajukan daftar ‘makanan bayi dan susu’ untuk bayi dan anak.

Bahkan, setelah dapur umum didirikan untuk penduduk dewasa, bayi dan anak masih bertahan dengan makanan instan mereka. Tidak ada yang mengambil inisiatif dapur pemberian makan bayi dan anak.

Selidik punya selidik, ternyata memberi makanan jadi ke bayi dan anak sudah merupakan kebiasaan – bukan hanya di saat bencana.

Tidak ada satu pun ibu yang saya temui membuat bubur saring untuk bayinya. Apalagi membuat tim cincang.

Mengerti soal Makanan Pendamping ASI (MPASI) pun tidak. ASI ekslusif lebih membuat miris lagi. Rata-rata ibu mengeluhkan ASI-nya kurang bahkan berhenti, sejak ikut KB pil atau suntik.

Tidak ada yang tahu sama sekali bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan justru memberi perlindungan ampuh untuk tidak ‘kesundulan’ – alias hamil kembali.

Padahal mereka ibu rumah tangga, boleh dibilang 24 jam berada di sisi anak-anaknya, tidak bekerja di luar rumah.

Saat pos Pemberian Makan Bayi dan Anak kami dirikan dan mengajak para ibu serta kader menyusun MPASI buatan sendiri yang sehat dan seimbang, mereka heran karena anak-anaknya makan dengan lahap dan sama sekali jauh dari kata ‘ribet’.

Dari pengetahuan nol yang mengira MPASI hanya bubur susu lalu bergeser menjadi campuran protein hewani, nabati, makanan pokok dan sayur serta buah – para ibu dan kader menyadari betapa mereka tertinggal (atau ditinggal?).

Begitu pula kudapan yang klasik berupa bubur kacang ijo akhirnya berkembang menjadi nagasari, semar mendhem, lumpia basah, lepet.

Jauh dari perabot masak yang mewah apalagi lengkap seperti acara masak memasak di televisi, bermodalkan perkakas seadanya dan kreativitas mereka mampu memberi makan anak-anaknya dengan lebih baik, serta memenuhi syarat gizi tumbuh kembang.

Bahwa kebutuhan lemak bagi bayi dan balita tidak selalu harus diberi minyak goreng, margarin, apalagi keju.

Dengan memilih bahan makanan yang dari alamnya sudah kaya lemak dan diolah dengan baik – maka kebutuhan 50% lemak dari total asupan energi pasti akan tercukupi.

Amat disayangkan dan perlu diratapi, apabila memberi makan manusia hanya sebatas pemenuhan rasa kenyang.

Tidak banyak yang paham, bahwa dapur adalah wilayah terwujudnya kasih sayang dan cinta.

Di saat tanggap bencana, dengan duduk bersama mengolah makanan maka manusia akan menjalin komunikasi, bonding, merasa dibutuhkan, dan tentunya melewatkan waktu dengan lebih gembira ketimbang merenung kapan air susut atau gempa berhenti.

Di sisi lain, saat dukungan psikososial diberikan dalam rupa ruang bermain dan bercerita bersama anak, banyak temuan-temuan yang amat mematahkan hati.

Sejumlah anak SD masih menemui kesulitan membaca. Hampir semua menyatakan matematika itu sulit. Dan tidak satu pun yang bisa menulis huruf tegak bersambung.

Sekali lagi, reduksi terjadi dimana-mana. Kali ini, menulis hanya dianggap cara membuat prosa atau nantinya menyusun skripsi. Bukan keterampilan hasil integrasi ketangkasan manual (dexterity) yang melibatkan kerja otak kiri dan kanan sekaligus menampilkan ekspresi.

Mengikat tali sepatu pun dianggap menyulitkan, untuk apa susah-susah jika sudah ada velcro, keajaiban pita rekat yang membuat balita pun bisa pakai sepatu sendiri?

Matematika hanya aljabar agar pintar menghitung duit. Bukan logika apalagi abstraksi. Dengan logika dan daya abstraksi yang rendah, jelas matematika menjadi sulit.

Padahal, logika dibutuhkan untuk memilah perbedaan fakta, ilusi atau hoax. Abstraksi dibutuhkan untuk menata masa depan.

Tidak banyak guru yang bisa sambil bercerita lalu melakukan stimulasi menyenangkan dengan menyisipkan matematika dan logika.

Tak heran ilmu eksakta menjadi begitu menyeramkan – atau dianggap milik ‘anak jenius’ – padahal fakta sesungguhnya bukanlah begitu.

Sambil tercenung saya bisa memahami, mengapa betapa sulitnya membuat para ibu dan kader mau membaca – karena mereka memang tidak terbiasa dengan keterampilan itu yang melibatkan banyak fungsi otak.

Pada situasi seperti itu, mengajar mereka berarti ‘menunjukkan caranya’. Tepat di depan mata. Membuat mereka mampu mengalami segala sesuatunya, merasakan dan mencoba.

Experiential learning adalah metoda yang paling pas bagi mereka. Bukan teknik edukasi konvensional seperti pelatihan dan penataran.

Barangkali itulah sebabnya mengapa hampir sebagian besar pelatihan kesehatan yang diadakan di pusat maupun tingkat pemerintah daerah akhirnya mentah dan mentok – begitu ingin diaplikasikan ke masyarakat terbawah.

Sementara itu jargon ‘praktis’ kian berkibar. Dimanfaatkan oleh para pelaku kepentingan. Seakan gayung bersambut, dasarnya manusia tidak mau susah, dari gizi hingga edukasi masyarakat akhirnya kebablasan mencari apa yang paling gampang.

Padahal hidup tidak didesain untuk ‘menjadi gampang’. Semua upaya manusia adalah tentang pencarian makna. Dan itu tidak lagi terjadi di sini, akibat edukasi yang hanya membuat manusia ‘bisa cari kerja’. Bukan insan yang berpikir.

Sungguh masih banyak yang mesti dibenahi, bukan hanya infrastruktur yang luluh lantak dihajar keberingasan alam yang sudah tidak lagi dijadikan kawan.

Kita perlu saling bergandengan menata pranata sosial, ketimbang ricuh mempertaruhkan siapa yang akan berkuasa.

Sebab di bawah sana, rakyat akhirnya yang paling menderita apabila orang-orang hanya bersliweran pamer jaket dan berswa-foto dengan latar tumpukan sumbangan yang dipamerkan.

Tidak semestinya mereka makan dari kardus, begitu pula gunungan baju bekas akhirnya hanya dijadikan keset kaki karena tidak terpakai, sebelum memenuhi lokasi buangan pengganti sampah plastik.

Tidak banyak potret wilayah bencana yang bisa bicara banyak, selain mengundang desahan rasa iba dan ngeri.

Untuk memahami bencana yang sesungguhnya, kita perlu hidup bersama mereka, mengamati bagaimana mereka menjalankan hidup, mendengar cara mereka memproyeksikan masa depan, barangkali barulah kita bisa sedikit menyampaikan kesetiakawanan nasional.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/01/07/080500420/pascatsunami-mari-evaluasi-gizi-dan-edukasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke