Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Facebook di Ambang Kematian?

Setelah 12 tahun mengalami pertumbuhan pesat secara global, platform media sosial kegemaran mahasiswa yang telah mendominasi pasar modal dengan nilai aset 414 miliar dollar AS itu kini telah menjadi media sosial bagi orang-orang “tua”.

Sepertinya, Facebook tidak menarik lagi bagi target utama mereka, yaitu kalangan muda yang terdidik dan pengguna telepon genggam. Sebaliknya, mereka kini sudah tidak lagi mengakses Facebook.

Alasannya? Sederhana. Anak muda melihat Facebook sebagai media sosial yang kuno dan ketinggalan jaman. Algoritma yang membosankan yang memprioritaskan konten keluarga dan kerabat ketimbang konten lain yang lebih menarik.

Facebook memang masih tetap menjadi pilihan utama di pasar-pasar tertentu. Di Myanmar, misalnya, sekitar 91 persen pengguna internet masih sering mengakses Facebook.

Apakah tingkat aksesibilitas ini dapat dipertahankan, mengingat pengguna dari Yangon, Mandalay, dan sekitarnya kini semakin melek teknologi? Tentu ini merupakan persoalan lain.

Di belahan dunia lain, Facebook selalu dihadapkan dengan isu keamanan data dan ujaran kebencian. Namun isu tersebut tidak terlalu diperhatikan di negara ASEAN.

Hanya sedikit orang di Jakarta atau Kuala Lumpur yang mengetahui tentang tuduhan terhadap Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer Facebook yang tenar atas serial bukunya “Lean In”.

Kita sudah terbiasa dengan orang-orang bermuka dua yang tidak kita sangka sebelumnya.
Masalah utama Facebook adalah bahwa platform ini sudah sangat MEMBOSANKAN.

Platform yang dulu merajai media sosial seperti Myspace, Bebo, dan Friendster telah hilang dalam kuburan digital. Mungkinkah Facebook mengalami hal serupa? Inikah awal dari akhir Facebook?

Ketika saya berjumpa dengan sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada di pusat kebudayaan Indonesia, Yogyakarta, pada Desember lalu, mereka bercerita startup Mark Zuckenberg ini sudah menunjukkan tanda-tanda keredupan yang nyata.

Rully Satria, seorang mahasiswa 20 tahun dari Padang, menilai Facebook sudah ketinggalan zaman. “Saya sudah jarang membuka Facebook. Kalaupun buka Facebook, itu hanya untuk cek kabar keluarga,” katanya.

Sekitar 50 persen pengguna internet di Indonesia berasal dari pengguna berusia 19 hingga 34 tahun. Sebagian besar milenial, sepeti Rully, tumbuh dewasa bersama dengan perkembangan internet.

Namun demikian, pada 2018 jumlah pengguna baru terbanyak Facebook berasal dari pengguna berusia 45 hingga 55 tahun. Ini menunjukkan Facebook kini telah menjadi media sosial bagi orang tua dan kakek-nenek para milenial.

“Hanya orangtua, paman dan tante saja yang masih menggunakannya”, tambah Rully.

Facebook pada dasarnya adalah platform situs web yang dibuat untuk diakses pengguna dari dekstop atau komputer. Aplikasi-aplikasi media sosial baru cenderung dibuat eksklusif untuk ponsel pintar (smartphone), yang penggunaanya lebih kompleks.

Kompleksitas ponsel pintar ini kemudian memberi para millennial “keamanan” yang lebih terjamin.

Facebook pernah menjadi wadah untuk menyuarakan pendapat. Namun aksi intervensi pemerintah dan militer belakangan ini justru sering menjadikan Facebook sebagai tempat pelanggaran hak asasi manusia.

Di Vietnam, pelarangan konten bernada anti-pemerintah telah membungkam para aktivis dan praktik kebebasan berpendapat. Sementara militer Myanmar, Tatmaddaw, telah menggunakan akun palsu Facebook untuk menyebarkan konten berkaitan dengan genosida terhadap umat Muslim Rohingya.

Di zaman digital ini, keamanan identitas menjadi prioritas untuk banyak pengguna internet. Laporan keterlibatan Facebook dalam kontroversi Cambridge Analytica telah menodai citra perusahaan ini di mata publik.

Fakta bahwa platform Zuckeberg ini telah menjual informasi pribadi ke perusahaan periklanan, semakin menumbuhkan ketidakpercayaan publik. Di sisi lain, Twitter dan Instagram tidak membutuhkan informasi yang terlalu personal, sehingga memberi privasi lebih bagi para penggunanya.

“Saya tidak ingin mereka (keluarga) mengetahui tentang kehidupan sosial saya,” tambah Rully.
Jadi, media sosial apa yang kini dipakai orang-orang?

Di Indonesia, Instagram, LINE dan Twitter dilihat sebagai media sosial yang lebih modern dan simpel. Terlebih lagi, banyak pengguna merasa algortima Facebook semakin tidak jelas dan tidak menarik.

Probo, yang baru saja lulus sarjana, berusia 23 tahun dari Surabaya, menambahkan, “Tokoh politik dan artis-artis lebih aktif di Twitter. Batasan 140-karakter juga lebih enak dibaca.”

LINE, aplikasi pengirim pesan dari Jepang, banyak digunakan Thailand. Platform berita hariannya, LINE TODAY, telah digunakan oleh lebih dari 32 juta di negara ini saja.
Sebaliknya, program “Literasi Berita” Facebook, yang diluncurkan tahun lalu, tidak terlalu diminati pengguna. Rully, contohnya, justru mendapat informasi berita dari Instagram. 

Adryz Ariffin, eksekutif pemasaran media sosial berbasis di Asia Tenggara, mengatakan peralihan dari Facebook belum memiliki dampak langsung pada pemasaran digital. “Facebook masih menghasilkan laba dan jangkauan paling banyak. Kebanyakan masyarakat Asia Tenggara mengenal internet melalui Facebook,” kata Ardyz.

Facebook dan Google masih mendominasi pasar periklanan online di Asia Tenggara.
“Indonesia merupakan pasar online terbesar di Asia Tenggara. Vietnam dan Myanmar sedang tumbuh, tapi belum dapat menyaingi Indonesia,” kata Ardyz.

Bahkan Adryz mengakui bahwa dia sudah tidak menggunakan Facebook, dan dia memprediksi sekitar lima tahun lagi, Facebook tidak lagi menjadi media sosial terbesar.

Mungkin yang kita saksikan bukanlah “kematian” dari Facebook, namun lebih tepatnya, hilangnya kejayaan Facebook itu sendiri.

Facebook pernah menjadi Raja media sosial––pada masanya, Facebook adalah media sosial.
Tapi di kebanyakan negara Asia Tenggara, hal ini sudah berubah.

Dapatkah Facebook beradaptasi dengan perkembangan zaman? Kita masih harus melihatnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/01/25/192517520/apakah-facebook-di-ambang-kematian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke