Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

KOMPAS.com - Tak dapat dipungkiri, akhir bulan ke 4 pandemi Covid-19 di Indonesia (bulan ke 6 di dunia) membuat semua orang kian bingung dan gelisah.

Ketidakjelasan hidup mau bagaimana esoknya, sampai kapan wabah akan selesai dan interaksi sosial bagai syok peradaban dialami semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Yang diadopsi akhirnya hal-hal superfisial non substantif yang sebatas bisa mendongkrak ekonomi dan fesyen tentu saja.

Katanya mau sehat dan bebas penularan, alih-alih menerapkan 3 bukti ilmiah yang disodorkan jurnal kedokteran bergengsi - The Lancet – sebagian akademisi Indonesia malah super kreatif menemukan ‘penangkal virus’ yang mampu memberi ketenangan palsu sementara rakyatnya masih keluyuran.

Sebut saja penelitian setengah-setengah soal jampi-jampi jamu hingga ekstrak kayu putih.

Sementara The Lancet menganjurkan, hal yang lebih sederhana dan terbukti menurunkan risiko transmisi virus dengan prosentase angka: cuci tangan pakai sabun, menggunakan masker (dengan benar), dan menjaga jarak fisik 1.5-2 meter.

Bukan minum jamu, pakai sarung tangan apalagi semprot desinfektan ke tubuh manusia. Sebab virusnya yang siap menular berada dalam tenggorokan manusia yang disemprot.

Yang miris, sambil menggunakan masker berbagai warna, saat berswafoto ramai-ramai, lalu jaga jarak aman ambyar. Protokol kesehatan tinggal kenangan.

Ini bukan hanya terjadi di kantor atau perusahaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kesehatan.

Justru, terjadi di instansi kesehatan bahkan kantor rumah sakit. Mengandaikan ‘rekan kerja’, ketemu setiap hari, sudah ‘seperti keluarga’. Nah ini dia.

Mengapa kerumunan itu sulit sekali diatur? Karena ada sekelompok manusia menyebut hubungan keluarga satu rumah. Sehingga jadilah kerumunan kecil.

Tak mau kalah dengan satu kelompok, muncul kerumunan lain yang menyebut ‘kami berenam satu kos, datangnya saja bersama-sama’.

Dan bisa dibayangkan, sepanjang jalan protokol DKI Jaya di akhir pekan istilah CFD, Car Free Day berubah menjadi Corona Festival Day.

Satu keluarga, satu kos, satu RT – adalah istilah kerumunan masyarakat kita yang tidak terbiasa menjadi individu yang berdiri sendiri.

Begitu mengguyub, sehingga menganggap identifikasi diri berada dalam kelompok. Mengandaikan kelompoknya sehat, sebab saya pun tidak sakit.

Padahal dalam satu keluarga atau satu kos, masing-masing punya pergerakan fisik yang tidak sama. Yang satu berjualan di pasar, yang satu habis pulang mudik, yang satu baru menghadiri pertemuan.

Bisa dibayangkan jika per individu itu bertemu sebagai ’keluarga’ atau penghuni satu kos dan masih mengandaikan mereka semua ‘sama sehatnya’.

Tak heran ada bayi baru 40 hari meninggal dalam keadaan menderita sesak parah akibat infeksi Covid 19, padahal ia belum bisa keluyuran – kecuali fakta bahwa ia dijenguk tetangga dan kerabat – yang ‘dekat’ dan tak nampak sakit.


Keluguan cara berpikir, pembiaran berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah tersentuh edukasi kesehatan dengan cara komunikasi yang benar, membuat bangsa ini gagap tanggap.

Dipaksa ‘nurut’ dengan norma-norma ‘anyar’ yang begitu jauh dari kebiasaan sehari-hari dan kebudayaan mengguyub membuat protokol tinggal seperti pajangan aturan.

Apalagi sanksinya model hukuman anak sekolah dasar yang sangat tidak masuk akal: mulai dari push up hingga hafalan Pancasila. Minim literasi, minim tanggung jawab moral membuat pandemi sulit ditangani.

Namun demikian, budaya berkerumun dan identitas kelompok di Indonesia ini cukup unik.

Yang mestinya muncul tanggung jawab rasa bersalah terhadap kelompok, justru mereka yang mencelakakan kaumnya seakan tak punya rasa salah sama sekali.

Bahkan, mulai menuding kontributor lain sebagai penyebab masalah. Lebih parah lagi, dengan mudahnya terbawa hasutan bahwa isu covid 19 hanyalah konspirasi.

Di sisi lain, petinggi yang mestinya melihat pandemi sebagai penularan penyakit dan harus ditangani secara spesifik intervensi medik dan edukasi publik, malah kesasar lebih berat sebelah ke dampak psikologis ekonomis.

Bahkan, Indonesia satu-satunya negara yang mengibarkan bendera turisme di awal pandemi sementara negara lain sudah menutup diri rapat-rapat melindungi rakyatnya.

Kedodoran dan keteteran penanganan membuat masalah kian kronis. Termasuk keterpurukan ekonomi pada akhirnya.

Suntikan stimulus yang diharapkan bisa mendongkrak ritme finansial ternyata terpakai sebatas kebutuhan sehari-hari, bahkan rentan penyalahgunaan dan dugaan ‘begal’ bantuan tunai langsung dimana-mana.

Di sisi lain, generasi Z yang sudah masuk usia duapuluh-an, mulai gerah karena hidupnya kehilangan arah.

Dari yang kuliah kedokteran hingga pariwisata pun akhirnya meramaikan dunia instagram dengan aneka jualan.

Dari aneka cake, keripik kentang hingga cumi sambal ijo. Siapa sih yang tak butuh makanan? Murah meriah, sebagai pemula bolehlah coba-coba.

Hal yang barangkali juga jika diamati dari semua negara di dunia, Indonesia minim pengawasan, sementara situasi kebablasan akibat pembiaran sangat mungkin terjadi.

Persis seperti semua kejadian kebablasan di segala bidang di negri ini – yang awalnya dimulai dari rasa empati, gotong royong, dan kesetiakawanan.

Mirip seperti rasa kasihan dengan para pendatang yang satu per satu membangun hunian non permanen sepanjang bantaran kali – hingga akhirnya punya RT RW – dan suatu hari terjadi malapetaka besar: banjir bandang.

Kemudian relokasi dianggap penggusuran anti kemanusiaan terhadap rakyat kecil.


Apa hubungannya dengan usaha kecil di masa pandemi? Sangat berhubungan. Siapa yang tahu, wiraswasta kecil-kecilan bikin kue atau lauk akhirnya menjadi budaya baru: awalnya beli ‘dagangan teman’, ujung-ujungnya jadi bisnis berkelanjutan.

Kelihatannya ekonomi merayap naik, serapan bahan baku pangan naik. Tapi nanti dulu,bahan baku yang mana? Gula, terigu, garam, minyak? Lima tahun ke depan ini semua menjadi kontributor rapor merah riset kesehatan dasar.

Bisnis yang sudah menggelinding sulit untuk dituding sebagai biang kerok apalagi dikenai aturan: wajib bikin surat izin usaha, perlu terdaftar di BPOM, semua dianggap penyulit orang yang sedang dalam kondisi ‘survival’. Ibarat banjir bandang terjadi dan penggusuran dianggap penzaliman.

Dalam salah satu webinar yang diselenggarakan sebuah lembaga non pemerintah, para pakar sebagai nara sumber independen setuju, bahwa arah penanggulangan pandemi kita lebih membela ekonomi, protokol kesehatan hanya sekadar pemanis.

Yang apabila dijalankan tentunya jadi baik, dan jika tak dijalankan ya tanggung saja sendiri akibatnya.

Sayangnya, tidak banyak yang bisa memprediksi jauh ke depan: korban bukan saja anak-anak yang meninggal sebagai akibat langsung terkena infeksi virusnya, tapi juga anak-anak yang tumbuh kembang dalam suasana tidak kondusif, yang lingkaran norma ‘anyarnya’ amburadul.

Dunia bisnis dan teknik-teknik pemasaran melesat lebih canggih ketimbang teknik mengkomunikasikan literasi kesehatan.

Istilah ‘rakyat kecil’ pun barangkali cuma ada di Indonesia. Suatu ungkapan eksplisit yang di baliknya penuh rasa kurang, ketidakadilan, kekecewaan, kekhawatiran, dan kemarahan yang setiap saat bisa meledak.

Dijadikan excuse, alasan – untuk semua ketidakberdayaan. Yang semestinya, setelah 75 tahun kita merdeka, tidak boleh lagi ada.

Sekarang momentumnya. Yang awalnya diberi ikan untuk makan, maka suatu hari dia harus cukup kuat untuk diberi kail dan mencari ikan sendiri. Bukan terus menadahkan tangan.

Saat orang mengambil jarak satu sama lain, saat setiap individu bermasker mencegah penularan terhadap individu lain, adalah momen tepat untuk mengajarkan bahwa setiap tindakan perorangan itu bermakna. Termasuk setiap catatan kecerobohan, tentu saja.

Di masa pandemi ini, jika dukungan pemerintah dan semua kelompok filantrofis elite salah kaprah, maka jurang akan semakin lebar dan norma anyar membuat kondisi kian ambyar.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/26/203321520/pembiaran-norma-anyar-yang-makin-ambyar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke