Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tenaga Kesehatan di Media Sosial Perlukah Aturan Khusus?

KOMPAS.com - Tenaga kesehatan di Indonesia memang belum memiliki regulasi baku yang mengatur kode etik profesi di media sosial. Namun, sudah banyak tulisan ilmiah dan seminar yang bisa menjadi acuannya.

Belakangan banyak konten nakes yang viral karena dianggap melanggar kode etiknya dan memantik kemarahan warganet.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan akan kehadiran regulasi yang mengatur para nakes bersikap di dunia maya. Pasalnya banyak oknum nakes yang kebablasan saat membuat konten untuk media sosialnya.

Alih-alih memberikan edukasi, mereka ini malah melanggar hak pasien dan merusak kepercayaan publik. 

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pusat Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) Dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS, mengatakan memang belum ada regulasi etik yang mengatur perilaku nakes dalam bermedia sosial.

"Nanti dalam waktu dekat semoga dapat dirilis regulasi etik terkait," ujarnya kepada Kompas.com pada Senin (19/04/2021).

Ia menjelaskan, sebenarnya pihaknya sudah menggodok regulasi tersebut sejak bebeberapa waktu lalu. Namun memang realisasinya belum bisa dilakukan karena berbagai sebab.

Nantinya regulasi ini diharapkan bisa jadi acuan nakes di tanah air agar tak ada lagi kasus konten yang viral karena tak beretika.

Meski demikian, ia mengatakan sudah banyak jurnal ilmiah dan seminar yang membahas tema ini. Bahkan diskusinya sudah berjalan sejak bertahun-tahun lalu sejak tren penggunaan media sosial meningkat.

Karena itu ia berpendapat kebanyakan nakes sudah paham soal etika dalam bermedia sosial.

Dokter Pukovisa sendiri sudah terjun langsung dengan menulis tema ini di Jurnal Etika kedokteran Indonesia.

Dalam riset yang dipublikasikan tahun 2017 itu, Pukovisa berpendapat perlunya kesadaran bahwa aktivitas di media sosial juga harus memperhatikan nilai etika kedokteran.

Hal yang harus diperhatikan adalah tujuan dan nilai etika yang diterapkan ketika memanfaatkan media sosial.

Berkaca pada aturan yang berkembang di Eropa, ia menyarankan nakes untuk menggunakan jenis media sosial sesuai tujuannya.

Jika diperlukan maka gunakan dua akun berbeda, untuk edukasi kesehatan dan ekspresi pribadi.

Untuk konten yang tidak memerlukan batasan dan tidak ditujukan bagi publik, disarankan menggunakan media sosial dengan tingkat keamanan dan privasi yang baik.

Namun fatwa etika kedokteran khusus soal pembatasan umum aktivitas media sosial bagi dokter memang saat dibutuhkan.

Tujuannya untuk mengarahkan aktivitas medsos dokter agar tetap produktif dan sesuai etika profesinya.

Pentingnya Sikap Bijak Dokter Ketika Bermedia Sosial

Perlunya panduan bagi dunia kesehatan dalam bermedia sosial juga dirasakan oleh para praktisi kedokteran gigi.

Dikutip dari kanal You Tube PDGI Jakarta Pusat, dalam Sosialisasi Kodekgi 2020 : Ketika Ruang Media Sosial Dibatasi Etika disampaikan perlunya penyesuaian kode etik kedokteran gigi terkait berbagai perubahan yang terjadi.

Salah satu yang ditekankan adalah etik pengunaan media sosial serta hal terkait penggunaan media berbasis teknologi infomasi lainnya.

Hal ini merespon maraknya edukasi kesehatan melalui platform media sosial dan fenomena munculnya selebgram atau Youtuber dari kalangan dokter gigi.

Meskipun kaya manfaat, penggunaan Twitter dan Instagram bisa memunculkan dampak negatif jika pelaksanaannya berjalan tanpa regulasi.

Sementara itu, drg. Rio Suryantoro, Sp.KG yang juga dikenal sebagai selebgram mengatakan pentingnya consent dari pasien yang kasusnya akan didokumentasikan dan dibagikan ke media sosial.

"Saya selalu meminta informed consent tertulis dari pasien sejak praktik tahun 2011," terangnya.

Dokumen tersebut akan dikirimkan ke pasien dan mungkin dipakai untuk edukasi tanpa menyebutkan identitasnya.

Selain itu, ia menjelaskan selama ini berusaha bijak mengolah unggahan dan takarir yang dipakainya. Tujuannya agar tetap informatif tanpa melanggar kode etik.

Pemilik akun @riosuryantoro ini mengikuti panduan International Guidance dalam bermedia sosial. Pertimbangannya, unggahannya bisa diakses dari mana saja sehingga akan lebih bijak jika menyesuaikan panduan dunia kesehatan mancanegara.

https://lifestyle.kompas.com/read/2021/04/19/120736620/tenaga-kesehatan-di-media-sosial-perlukah-aturan-khusus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke