KOMPAS.com - Ramai dibincangkan di media sosial mengenai kasus bullying atau perundungan di SMA Binus Serpong di Tangerang, Banten.
Ketika bicara soal kasus bullying, selain melihat dari perspektif korban, penting pula untuk melihat dari perspektif pelaku.
Mengapa seorang anak bisa menjadi pelaku bullying?
Dilansir dari The Conversation, perilaku bullying seringkali dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang terhadap pengakuan, perhatian, dan persetujuan.
Sebagian orang kemudian salah kaprah bahwa untuk mendapatkan atau meningkatkan pengakuan atau popularitas tersebut adalah membuat orang lain terlihat lebih kecil dari dirihya.
"Jika seorang anak populer, ia berpikir akan bisa mendapatkan hormat, pengaruh, kekaguman, dan kepemimpinan di lingkup pertemanan. Sayangnya, itu didapatkan dengan mengorbankan anak lain," ujar pakar bullying dari Amerika Serikat, Elizabeth Nassem, seperti dikutip dari The Conversation, Selasa (20/2/2024).
Alasan lainnya adalah karena anak diperlakukan tidak tepat, dipermalukan, atau menjadi korban bullying lingkungan lainnya, misalnya di dalam keluarga, oleh orangtua atau saudara kandungnya.
Pada kasus ini, mereka melakukan bullying pada anak lain untuk membalas dendam dan mendapatkan kembali perasaan harga diri.
Namun, ada pula alasan sistemik mengapa anak melakukan bullying.
Ini bisa juga terjadi karena sekolah tidak cukup kuat dalam mengawasi anak-anak muridnya atau mempraktikkan kebijakan yang justru melanggengkan perilaku bullying.
Masalah di rumah bisa sebabkan anak lakukan bullying
Profesor psikologi dan ilmu syaraf dari University of North Carolin, Mitch Prinstein menyebutkan, ada dua jenis agresi yang dapat terjadi, yakni proaktif dan reaktif.
Agresi proaktif biasa terjadi pada anak yang lebih besar atau terlihat seperti anak yang berada di puncak hierarki sosial, sehingga dia berusaha mempertahankan dominasinya melalui serangan.
Namun, tujuannya terkadang lebih bersifat situasional.
Profesor psikologi perkembangan dari University of California-Los Angeles, Jaana Juvonen mengatakan, biasanya kejadian yang menggoyahkan bagi anak, seperti kepindahan keluarga atau kematian orang yang dicintai, dapat membuat anak-anak yang biasanya dapat menyesuaikan diri dengan baik menjadi putus asa.
Mereka juga mungkin merasa memiliki kendali atas sesuatu dan apapun.
"Mereka melakukan sesuatu yang membuat mereka, pada saat itu, merasa berkuasa," kata Juvonen, seperti dilansir dari US News & World Report.
Sebaliknya, agresi reaktif biasanya bersifat impulsif dan tidak terkendali, serta dilakukan untuk menanggapi ancaman yang dirasakan anak.
Misalnya, anak sering diintimidasi dan akhirnya menjadi sangat waspada sehingga mereka melakukan penafsiran sendiri.
Dilansir dari Very Well Family, anak yang berasal dari keluarga yang kasar lebih mungkin melakukan bullying terhadap anak lainnya karena agresi dan kekerasan orang-orang di rumah menjadi contoh bagi mereka.
Namun, anak-anak dengan orangtua yang permisif atau tidak hadir juga mungkin saja menjadi pelaku bullying.
Bagi mereka, melakukan bullying terhadap anak lain memberikan rasa kekuasaan dan kontrol, yang tidak pernah diterima di dalam kehidupan mereka.
Selain itu, perundungan antar-saudara juga bisa menyebabkan anak menjadi pelaku bullying di sekolahnya.
Sebab, ketika kakak atau adiknya menyiksa saudaranya, hal itu dapat menciptakan rasa tidak berdaya terhadap korbannya.
Untuk kembali mendapatkan perasaan berkuasa, maka mereka menindas orang lain, bahkan terkadang meniru perbuatan saudaranya itu.
Selain itu, anak yang merasa kurang mendapatkan perhatian orangtua juga bisa menjadi salah satu alasan menjadi pelaku bullying.
Hasilnya, perilaku bullying menjadi cara bagi mereka mendapatkan perhatian orang lain.
https://lifestyle.kompas.com/read/2024/02/20/111039120/masalah-di-rumah-bisa-bikin-anak-jadi-pelaku-bullying-di-sekolah