Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tren Perfeksionisme Berbahaya? Ini Ulasan Psikologinya

“Perfectionism is not as much the desire for excellence, as it is the fear of failure couched in procrastination.” - Dan Miller.

PERFEKSIONISME semakin menjadi tren, tapi sekaligus rumit, kontroversial dan epidemik tersembunyi?

Ya! Tak hanya di kalangan orang muda atau dewasa muda, tapi juga remaja, bahkan anak-anak, mencakup berbagai bidang kehidupan: pendidikan, karier, penampilan fisik, maupun pencapaian pribadi.

Penelitian Thomas Curran dan Andrew P. Hill York yang dipublikaskan pada Psychological Bulletin terbitan American Psychological Association tahun 2019 menunjukkan, hasil survei terhadap lebih dari 41.000 partisipan menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan perfeksionis pada generasi Millenial dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Menguatnya perfeksionisme juga ditemukan pada remaja dan anak-anak pada tiga dekade terakhir, sebagaimana di antaranya disitir Rachel Simmons di The Washington Post tahun 2018 dan Newport Academy juga Los Angeles Times tahun 2022.

Apakah tren semacam ini hanya ditemukan di dunia Barat dan masyarakat individualistik?

Tidak! Di negeri ini, sebagaimana di negara-negara Asia lainnya, juga banyak anak muda, termasuk para pesohor (selebritis) yang mengakui dalam sejumlah wawancara, adanya kecenderungan perfeksionis pada diri mereka hingga bekerja sampai larut malam dan tidak jarang berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Apa tanda-tanda perfeksionisme?

Perfeksionisme adalah sifat atau karakteristik kepribadian atau disposisi kepribadian, namun belum tentu digolongkan sebagai gangguan psikologis atau gangguan kesehatan mental, meski beberapa ahli seringkali menyebut ada tendensi patologis.

Bila mendapati atau mengamati tanda-tanda berikut ini, yang dihimpuan dari berbagai sumber terutama hasil penelitian, patut diduga bahwa terdapat kecenderungan perfeksionis:

  1. Kesulitan menyelesaikan tugas karena pekerjaan dianggapnya tidak pernah “cukup baik”;
  2. Kecemasan yang intens seputar kemungkinan mengalami kegagalan; 
  3. Terlalu peka atau amat sensitif terhadap kritik;
  4. Mengalami frustrasi ekstrem ketika terjadi kesalahan;
  5. Menunda-nunda untuk menghindari tugas-tugas sulit;
  6. Terlalu kritis terhadap diri sendiri, merasa rendah diri, dan mudah merasa malu;
  7. Kesulitan mengambil keputusan dan memprioritaskan tugas;
  8. Sangat kritis terhadap orang lain;
  9. Defensif terhadap kritik sekalipun kritik yang membangun sebab penampilan yang kurang sempurna dianggap sangat menyakitkan dan menakutkan;
  10. Pemikiran ”semua atau tidak sama sekali” (all-or-nothing thinking), yaitu cenderung berpikir ekstrem, memandang situasi sebagai sesuatu yang sempurna atau gagal total, sulit menemukan jalan tengah dan sering kali tetap merasa kecewa meskipun sudah mencapai sesuatu yang mengagumkan.

Adakah yang salah bila seseorang memiliki harapan tinggi dan menetapkan standar tinggi bagi diri sendiri lalu berupaya keras untuk mencapai atau muwujudkannya?

Sama sekali tidak, bahkan baik. Hanya saja akan menjadi masalah dan berakibat buruk bila ingin mencapai kesempurnaan, standar yang ditetapkan terlampau tinggi dan mengevaluasi secara berlebihan atau terlampau kritis terhadap diri sendiri sebagaimana ditulis Daniel J. Madigan pada 2019 pada Educational Psychology Review.

Mengacu pada dimensi perfeksionisme yang diulas Stoeber dan Gaudreau tahun 2017 dalam Personality and Individual Differences bahwa upaya menuju kesempurnaan dan standar pribadi yang sangat tinggi (perfectionistic strivings) tidak berdampak buruk sejauh perfectionistic concerns tidak tinggi.

Yakni antara lain, tidak terlalu khawatir bila melakukan kesalahan, tidak takut terhadap penilaian negatif dari orang lain, tidak perlu ragu-ragu dalam bertindak, dapat menerima ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan serta tidak perlu bereaksi negatif terhadap ketidaksempurnaan.

Perfeksionisme semacam ini dapat dikatakan masih dalam batas wajar, seringkali disebut sebagai adaptive, or ‘healthy’ perfectionism.

Salah satunya ditemukan David W. Chan pada 320 anak berbakat di Tiongkok yang dipublikannya pada 2010 dalam Journal for the Education of the Gifted.

Perfectionistic concerns disebut sebagai unhealthy or "maladaptive" perfectionism atau seringkali dinamai sebagai toxic perfectionism karena dinilai sudah berlebihan.

Perfectionistic concerns terdiri dari tiga tipe, namun bisa saja menjadi kombinasi:

Pertama, perfeksionisme berorientasi pada diri sendiri yang ditandai dengan keinginan untuk memenuhi standar tinggi, tetapi tidak realistis yang ditetapkan bagi diri sendiri.

Kedua, perfeksionisme yang ditentukan secara sosial, yakni berusaha keras untuk memenuhi standar tinggi yang tidak realistis yang diyakini diharapkan orang lain dari dirinya, dan dipersepsikan sebagai tekanan pada dirinya untuk dapat memenuhinya.

Ketiga, perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain, yakni menjunjung tinggi standar orang lain yang tidak realistis.

Mengapa (harus) menjadi perfeksionis dan tren perfeksionisme meningkat?

Perfeksionisme dipandang sebagai hal positif, dikagumi, dan disanjung. Misalnya, meskipun ada orang yang kurang senang bila mendapat komentar dan penilaian terhadap dirinya sebagai orang perfeksionis, faktanya sangat banyak orang yang menuliskan dan menyatakan kecenderungan perfeksionis sebagai kelemahan atau sifat buruk dirinya.

Tentu saja, dapat dianggap pengakuan ini sebagai pujian tersamar, pujian halus dan manis bagi diri sendiri, bukan sebenarnya bermakna buruk atau dimaksudkan sebagai sesuatu yang buruk.

Menetapkan standar sangat tinggi, selalu bekerja untuk mencapai hasil sempurna sekaligus tidak menoleransi kesalahan sekecil apapun seakan-akan sebagai character strenght dan menjadi rahasia kesuksesan.

Lebih jauh, bila diringkaskan dan dikelompokkan dari berbagai sumber, ditemukan sejumlah sebab dan faktor yang memengaruhinya. Di antaranya adalah:

Pertama, situasi sosial dan global yang cepat berubah, tidak menentu, kompleks, dan ambigus seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tak stabil dan tidak terkendali sehingga berpikir bahwa jika dunia kacau balau, maka hidup harus dibuat sempurna agar sanggup menghadapi situasi tersebut.

Kedua, media sosial berperan dalam memperkuat perfeksionisme khususnya pada remaja dan orang muda karena menjadi wahana bagi dorongan untuk memamerkan kesuksesan, keterhubungan dan ’disukai’ (mendapatkan ’like’ dalam platform digital dengan segera).

Dalam media sosial ini pula perbandingan sosial menguat dengan ingin tampil seperti orang lain, bahkan ingin melampaui dengan tampil lebih pintar, lebih kompeten dan selaiknya takut bila orang lain melampauinya.

Ketiga, nilai budaya tertentu khususnya individualisme sangat menekankan pada determinasi diri, kemampuan untuk berkembang dan berhasil sangat bergantung pada bakat individu dan usaha keras kita yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat kompetitif.

Akibatnya, seseorang menganggap harus tampil sempurna agar merasa aman dan terhubung secara sosial.

Keempat, lingkungan sosial-keluarga meliputi kecemasan dan perfeksionisme orangtua khususnya ibu, keluarga yang berorientasi kuat pada prestasi.

Kelima, aspek psikologis seperti takut akan penilaian atau ketidaksetujuan dari orang lain, pengalaman masa kanak-kanak, seperti memiliki orangtua dengan ekspektasi tinggi yang tidak realistis, gangguan obsesif-kompulsif, harga diri yang rendah, menganggap diri tidak mampu (inadekuat), dan mengikatkan harga diri pada prestasi.

Penelitian Curran dan York yang sudah disinggung sebelumnya menegaskan bahwa generasi muda saat ini merasa bahwa orang lain lebih menuntut atau tuntutan orang-orang terhadap mereka semakin tinggi, selain lebih menuntut terhadap orang lain, dan juga lebih menuntut terhadap diri sendiri.

Generasi muda merasakan tekanan untuk tampil tanpa cela dalam segala hal. Tiga dekade neoliberalisme diyakini telah memaksa generasi muda untuk bersaing keras satu sama lain dalam tuntutan parameter sosial dan ekonomi yang tinggi.

Apa saja dampak buruknya?

Secara umum, menjalani kehidupan sebagai orang yang perfeksionis adalah cara hidup yang sangat melelahkan secara fisik maupun mental.

Berikut beberapa dampak nyata yang dialami seorang perfeksionis yang disarikan dari berbagai sumber.

Pertama, dampak fisik antara lain gangguan kesehatan seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, gangguan pencernaan, sakit kepala kronis/migren, nyeri kronis, hipertensi, asma, dan pada tingkat akut dapat menyebabkan kematian dini.

Kedua, dampak psikologis meliputi adiksi, perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm), burn-out, kecemasan dan depresi serta lebih sulit untuk menikmati hidup karena selalu dikejar pikiran dan perasaan akan tuntutan untuk sempurna selain merasa tidak bahagia, marah, kecewa dan frustrasi bila tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan harapan dan yang direncanakan.

Ketiga, dampak sosial, yakni keinginan untuk menjadi sempurna dapat merenggangkan hubungan interpersonal yang dimiliki karena membuat teman, keluarga, dan orang lain ikut merasa tertekan.

Tidak jarang, menganggap dirinya yang benar dan mengkritik orang di sekitarnya hingga mengganggu hubungan sehari-hari.

Pada remaja dan anak-anak, umum ditemukan dampak berikut:

  1. Emosional, yakni meningkatnya stres dan kecemasan, ketakutan gagal sehingga berdampak buruk pada perkembangan emosi yang sehat dan kesejahteraan psikologis;
  2. Akademik, yakni menunda-nunda atau menghindari tugas karena takut melakukan kesalahan sehingga prestasi akademik menurun selain menghambat kemampuan untuk mengambil risiko, mengeksplorasi ide-ide baru, dan belajar dari kesalahan;
  3. Sosial khususnya interaksi sosial atau relasi dengan sebaya karena terhambat dalam membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna. Sebagai akibatnya, seorang perfeksionis mengalami isolasi sosial dan perasaan kesepian. Hambatan tersebut terjadi disebabkan keinginan menghindari situasi sosial karena takut dihakimi atau dikritik.

Apa yang dilakukan untuk mengurangi dan/atau menangani bahaya perfeksionisme?

Meski berlaku juga pada orang muda, secara khusus sejak dini diharap sudah diterapkan pada remaja dan anak-anak sehingga kecenderungan ini tidak berlanjut dan dampak buruk yang ditimbulkan tidak sampai pada masa dewasa.

Untuk itu, diharapkan orang dewasa, orang tua, guru, saudara kandung dan sebagianya, mendorong pertumbuhan pribadi dan pola pikir untuk perkembangan diri, pujian yang efektif dan kritik konstruktif, menekankan agar menghargai proses bukan hanya hasil akhir dan kepuasan bila telah melakukan yang terbaik terlepas dari hasil akhir yang diperoleh.

Selanjutnya, hendaknya diingatkan pepatah asing ”practices make perfect” yang dimakna bahwa daripada hanya memikirkan bagaimana cara mencapai hasil sempurna, akan lebih baik memulai mengerjakan saja sekarang.

Sebab, selain mustahil, kesempurnaan atau sesuatu mendekati sempurna juga hanya mungkin dan akan terbentuk setelah dilatih atau berlatih terus menerus.

Bantulah mereka agar tetap fokus pada apa yang dapat dikendalikan, yakni sikap, usaha, dan tindakan selain menyadarkan bahwa begitu banyak aspek keberhasilan maupun kegagalan yang berada di luar kendali pribadi seseorang.

Hendaknya dibantu pula, alih-alih mengkritik diri dengan keras, agar dimiliki welas-asih diri (self-compassion) sebab selain ambisius, pekerja keras dan rajin, perfeksionis menyalahkan diri sendiri dan kurang memiliki rasa kasihan pada dirinya bila segala sesuatu berjalan tak sesuai harapannya.

Tak lupa mengingatkan dampak buruk perfeksionisme yang berlebihan, menetapkan kriteria keberhasilan atau kesuksesan yang realistis serta memilih idola yang juga realistis, yakni menyadari dan mengakui keterbatasan dan kodrat manusia.

Namun yang terutama dari semua ini adalah orang dewasa menjadi teladan atau berperan sebagai panutan yang kuat (role model) bagi mereka untuk menerima kesalahan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hakikat manusia dengan tetap menunjukkan daya juang dan ketangguhan pribadi dalam proses dan mencapai tujuan.

Bila diperlukan, jangan ragu untuk mendapatkan bantuan profesional agar mendapatkan penanganan dengan teknik, metode dan pendekatan yang sesuai, didahului dengan asasmen dan mengungkap akar penyebabnya.

Satu hal yang penting untuk diingat adalah tidak semua orang yang berjuang untuk menjadi yang terbaik adalah perfeksionis. Orang dengan orientasi berprestasi tinggi juga belum tentu perfeksionistik.

Perfeksionisme menjadi masalah ketika menjadi pola pikir yang mencakup segalanya. Artinya segala sesuatu harus sempurna, menyebabkan ketegangan dan kesusahan serta mengganggu perkembangan yang sehat ataupun kehidupan sehari-hari.

Kutipan di awal tulisan ini dari Dan Miller, seorang career coach, pembawa acara bincang-bincang dan pengarang buku terlaris, kiranya menjadi pengingat bahwa memang benar, alih-alih sebagai keinginan untuk menjadi yang terbaik, perfeksionisme justru mengindikasikan ketakutan akan kegagalan dan justru berakibat pada penundaan.

Selanjutnya penundaan pada gilirannya sangat mungkin menyebabkan kegagalan itu menjadi benar-benar terjadi.

Jangan sampai terjadi apa yang dikatakan peneliti sosial Brene Brown disebut sebagai “kelumpuhan hidup” merujuk pada semua peluang yang terlewatkan karena terlalu takut untuk mengungkapkan apa pun yang mungkin tidak sempurna, semua mimpi yang hilang karena ketakutan yang mendalam akan kegagalan, membuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain.

Di sinilah menjadi benar bila dikatakan bahwa perfeksionisme tak hanya merusak individu-individu tapi juga masyarakat, sebab menjadi musuh bagi kesejahteran (wellbeing) dan juga musuh bagi kemajuan, karenanya layak bila dianggap sebagi masalah sosial-kemasyarakatan (societal problem).

Maka mari selalu mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa dalam hidup ini tak ada yang sempurna. Berhati-hatilah dengan jebakan perfeksionisme, seolah-olah perfeksionisme sangat menguntungkan dan manis.

Situasi dunia atau global memang cepat berubah, tak pasti, rumit, tapi tidak perlulah hidup dan diri kita sempurna agar dapat menghadapi dan mengatasinya. It’s okay not to be perfect.

*Graciella Camberly, Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Bonar Hutapea, S.Psi., M.Psi, Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

 

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/03/07/153009620/tren-perfeksionisme-berbahaya-ini-ulasan-psikologinya

Terkini Lainnya

Jangan Ketinggalan, Gunakan Ini Sebelum Pijat Wajah Gua Sha

Jangan Ketinggalan, Gunakan Ini Sebelum Pijat Wajah Gua Sha

Look Good
7 Macam Love Language dan Artinya, Kamu yang Mana? 

7 Macam Love Language dan Artinya, Kamu yang Mana? 

Feel Good
6 Cara Memakai Gua Sha agar Manfaatnya Maksimal

6 Cara Memakai Gua Sha agar Manfaatnya Maksimal

Look Good
Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Look Good
Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Look Good
Apa Itu Love Language?

Apa Itu Love Language?

Feel Good
Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Look Good
Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Look Good
Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Look Good
6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

Look Good
4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

Look Good
3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

Look Good
5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

Look Good
Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Feel Good
6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

Look Good
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke