Cerpen Asmororini
Bukit dan lembah dan langit hijau dan pohon biru, hamparan rumput bak beledu menghias. Pondok tempat tinggalku tepat berada di kaki lembah membelakangi bukit. Selalu menyenangkan berada di tempat berselimut biru pohon seperti ini, mencumbu hijau mencumbu biru bercinta dengan alam. Sendiri. Menyendiri, mencoba melupakan segala sesuatu yang membuat sedih, mencoba melupakan segala bahagia yang pernah hadir. Kerap aku duduk berlama-lama memeluk lutut beralas rerumputan, damai tiada tara walau hanya berkawan angin berkawan sepi berkawan bisu.
Sebenarnya tidak benar benar sepi dan bisu sendiri, karena merpati putih yang meluncur dari atas bukit selalu berkunjung menemani sendiriku menemani sepiku menemani bisuku. Ketika aku sedang galau terperangkap dalam kegundahan tak bertepi , sering aku mencurahkan seluruh isi hati kepadanya. Sudah sejak lama aku mengakrabinya, karena ia adalah pendengar yang baik sekaligus berhati putih seputih bulunya, membuatku tak enggan menumpahkan segala rasa.
Aku ingat awal perkenalanku dengan merpati putih itu. Aku sedang mengambil sebuah permen dari mangkuk kristal pemberian almarhum ibuku, tapi aku menyenggolnya dan mangkuk itu tiba-tiba meluncur begitu saja. . Cepat kutangkap tapi tak terjangkau kemudian aku hanya terpaku mendengar bunyi prang……. Padahal itu adalah sebuah dari sepasang mangkuk kristal warisan ibu dan merupakan peninggalan ibu yang masih tersisa padaku. Kudapatkan ketika ibu masih segar dan sehat, disertai dengan pesan yang terus melekat dalam ingatanku.
“Jangan biarkan sepasang mangkuk kristal ini pecah berderai . Bila kamu memecahkan satu, periksalah separuh hatimu , mungkin ada yang tergores, dan bila kamu memecahkan keduanya, periksalah seluruh hatimu, mungkin ada yang terluka Jaga sepasang mangkuk kristal ini seperti kamu menjaga keutuhan hatimu, jangan biarkan hatimu tergores dan terluka."
Dan tiba-tiba sebuah mangkuk kristal itu telah berujud pecahan pecahan , kedua tanganku sendiri yang memecahkannya. Aku ceroboh tak pandai menjaga peninggalan ibu. Sekejapan aku gemetar mengingat penggalan kalimat ibu.
"……………Bila kamu memecahkan satu , periksalah separuh hatimu, mungkin ada yang tergores………….."
Apakah hatiku memang sedang tergores? Aku mulai menimbang dengan gamang kedalaman hatiku sendiri, tapi belum kutemukan jawaban. Hati? Hati yang mana ? hati yang telah tergores?
Aku menyesali diri tak habis habis, tapi apalah artinya sesal itu karena mangkuk kristal wadah permen itu tak utuh lagi. Hanya karena mengambil sebuah permen untuk mencicip rasa manisnya, mangkuk kristal itu jatuh pecah berserak menjadi potongan-potongan kecil yang tak mungkin disatukan.
“Kamu ceroboh ! kamu telah menghancurkan mangkuk krsitalmu! kamu telah menggores hatimu sendiri!" terdengar suara suara menuduh.