Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peluncur dari atas bukit

Kompas.com - 19/06/2009, 02:33 WIB

Aku galau. Dalam kegundahan aku duduk memeluk lutut beralas hamparan rumput  memandangi bukit . Ketika itu sekelebat sinar meluncur turun dari atas bukit, seekor merpati berbulu putih bersinar keperakan. Ia hinggap tepat di hadapanku, matanya yang kecil bening menembus langsung ke mataku, kemudian ia mulai berbicara. Ada yang janggal,  ia bisa berbicara !  lebih aneh lagi ia bisa mengetahui kegundahanku.

“Separuh  hatimu sedang tergores!"
“Bagaimana kamu tahu?"
“Sebuah mangkuk kristalmu telah kamu pecahkan!"
“Lalu bagaimana aku membenahi hatiku yang sedang tergores?"
“Cinta, cinta, cinta!"
“Apa yang harus kulakukan dengan cinta?"
“Berdamailah dengan dirimu, balur goresan itu dengan kekuatan cintamu!"

Entah kenapa, aku mendapatkan kekuatan dari larikan kalimatnya itu. Ia memang seekor merpati putih, tapi kedalaman makna dalam tutur kata-katanya melewati sisi manusia ku. Atau tepatnya akulah yang  seekor manusia pandir dan ia adalah seorang merpati putih bijak . Tak kupedulikan lagi jenis berjenis ini, aku lebih mempedulikan ia tutur katanya yang bijak. Tak kupedulikan lagi ia berbicara atau bisu, aku lebih memperdulikan bahwa hanya ia yang sanggup meredam kegundahanku. Begitulah awal perkenalanku dengan merpati putih itu.

Dan kini kejadian sama terulang , aku mengambil permen , menyenggolnya,  memecahkan  mangkuk kristal keduaku. Kali ini pecahannya menggores seluruh jari-jariku, jari-jari kakiku, jari-jari tanganku. Dan darah…ada darah, tapi aku tak  menghiraukannya, karena aku sibuk akan pertanda dalam kata-kata yang dipesankan ibu  dalam penggalan terakhir dari kalimatnya.

"...Dan bila kamu memecahkan keduanya ,  periksalah seluruh hatimu, mungkin ada yang terluka  Jaga sepasang mangkuk kristal  ini seperti kamu  menjaga keutuhan hatimu,   jangan  biarkan  hatimu tergores dan terluka."

Ada luka  ! ada luka dimana mana, di jari-jariku, di hatiku ! Betul kata-kata ibu !  hatiku luka ! ada pedih ada nyeri. Sekarang nyata hatiku tidak utuh lagi, ada luka menganga. Aku sendiri yang membuat sepasang  mangkuk kristal itu pecah berderai,  aku sendiri yang mengakibatkan  hatiku tergores terluka mungkin  tercabik. Aku tak pandai menjaga sepasang mangkuk kristal , tak pandai menjaga hatiku.  Dan suara tuduhan itu semakin lama semakin nyaring.

Mangkuk kristal pecah di ruang tamu pondokku, mangkuk kristal pecah di ruang makan pondokku. Dari kedua tempat itu,  suara suara yang sama menuduhku.

“Kamu bersalah ! kamu yang sangat ceroboh telah  memecahkan  mangkuk kristal yang tersisa.  Kamu telah menyebabkan luka hatimu sendiri.”

Aku mulai menakar kedalaman hatiku lagi,  tapi tetap tak menemukan jawaban. Hati? Hati yang mana?  Hati yang telah telah luka? Suara-suara menuduh  tak henti mengikutiku kemana aku pergi.

Aku mencoba mengingat-ingat tentang perkataan merpati putih itu ketika aku memecahkan mangkuk kristalku pertama dulu dan hatiku tegores.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com