Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peluncur dari atas bukit

Kompas.com - 19/06/2009, 02:33 WIB

“Berdamaiah dengan dirimu, balur goresan itu dengan kekuatan cintamu!"

Kenapa aku bodoh, aku tak mendengar kata-katanya, atau aku tak pandai memaknainya atau bahkan aku mendengar dan memahami tapi tak mencoba melakukan apa-apa, tak berusaha membalur goresan itu dengan kekuatan cintaku?

Dan sekarang, aku duduk memeluk lutut beralas rerumputan hanya berkawan  angin  berkawan sepi berkawan bisu. Menunggu kedatangan merpati putih dari atas bukit , tapi belum muncul juga, padahal aku sedang ingin mengadukan keresahanku. Sungguh  gundah, tapi merpati putih itu kenapa belum  datang juga.  Ataukah ia sedang marah karena aku tak mendengar perkataannya? Ataukah ia sedang lelah  mendengar cerita-ceritaku?  Aku mulai berprasangka sambil tak henti menyalahkan diri sendiri, kenapa aku tak pernah mampu  mengukur hatiku, membiarkankan tergores terluka.

Tiba-tiba kudengar suara terbahak  sambung menyambung padahal aku hanya sendiri tidak ada sesiapapun disekitaran, bahkan merpati putih yang kutunggu itu. Suara tawa terbahak yang mendatangiku itu seolah mencabik cabik keresahan yang segera   porak poranda dalam sekejapan. Aku mulai berdiri celingukan menoleh ke kanan ke kiri berputaran ke sekeliling mencoba mencari asal muasal suara, tak kutemukan  siapa-siapa selain diriku, tak kuendus nafas lain kecuali nafasku yang makin berpacu kencang tak menentu.

Ketakutan segera menyergap menjalar ke seluruh tubuh, ke hatiku ke nadiku ke  jantungku. Aku ingin beranjak berlari menghindar tapi tak mampu, dan suara tawa itu makin lama makin riuh seolah dari suara yang kukenal Gemanya  dekat  mengikut , membuat jantungku serasa menghentikan denyutnya,   tubuhku hanya berdiri membeku, tak bisa beranjak  ke mana mana. 

Lalu suara tawa itu berhenti tak terdengar , tapi terganti dengan lengking  membahana.. Aku  mendongak kearah bukit didepanku. Tidak masuk akal ! bagaimana mungkin ! aku melihat sosok berdiri tegak di puncak bukit merentangkan kedua tangan seolah hendak mengepakkan sayap hendak terbang. Bukan merpati putih itu. Aku berdiri terdiam bagai batu, nanar menatap sosok  yang jauh dan samar. Aku khawatir sesuatu hal buruk terjadi padanya, jadi aku mencoba berteriak lantang.

“Ohoi…… …  jangan lakukan!"

Ia  menoleh ke arahku seolah memandangku sejenak dan membalas teriakanku.

“Harus kulakukan,  dengan berani harus kulakukan!”

Tak dinyana ia tiba-tiba  meluncur begitu saja, melesat  menukik menuruni bukit, melayang di udara bagai seekor burung besar hitam tanpa sayap. Makin kencang dan bertambah kencang,  menikung gila-gilaan ke kanan ke kiri langsung menuju ke arahku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com