Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menaikkan Produktivitas Kopi Curup

Kompas.com - 22/03/2010, 04:19 WIB

Jannes Eudes Wawa

Parnianto (52), petani yang tinggal di punggung Bukit Kaba, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, mengaku pernah frustrasi pada tahun 2006. Pemicunya adalah volume produksi tanaman kopi miliknya seluas satu hektar merosot tajam. Saat itu, setiap hektar kebun kopi miliknya hanya mampu memproduksi sekitar 600 kilogram per tahun.

Waktu itu saya stres berat dan merasa tak ada gunanya lagi memelihara kopi kalau hasil panennya hanya 600 kilogram. Saya juga lakukan pemupukan dan perawatan yang teratur, tetapi tidak mendapatkan hasil yang menggembirakan,” kata Parnianto.

Meski demikian, pria kelahiran Jawa Tengah itu tidak patah arang. Dia terus-menerus mencari solusi untuk meningkatkan produksi kopi miliknya. Apalagi, sebagian tanaman sudah berusia 30 tahun.

Ketika tahun 2007, sejumlah petani setempat melakukan teknik penyambungan batang, batang kopi yang berproduktivitas bagus disambungkan pada batang yang kurang produktif, Parnianto pun mengikutinya. Sebanyak 2.500 pohon kopi dilakukan penyambungan batang.

Dua tahun kemudian, yakni tahun 2009, hasilnya mulai tampak. Produksi kopi miliknya meningkat tajam: dari semula hanya rata-rata 600 kilogram menjadi empat ton sampai lima ton per hektar dalam setahun. Bahkan, kopi itu dapat dipanen setiap hari.

”Kalau dulu dalam sehari saya bisa panen 100-200 pohon, sekarang saya hanya mampu memanen lima pohon. Ini karena buahnya terlalu lebat,” ungkap Parnianto. Bukit Kaba merupakan salah satu daerah tangkapan air di hulu Sungai Musi.

Penyambungan batang

Teknik penyambungan batang merupakan teknologi peningkatan produksi yang semakin ramai dilakukan para petani kopi di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu. Pola ini berkembang sejak tahun 2003. Saat itu hanya segelintir petani yang melakukannya sebagai upaya penyelamatan terhadap produksi kopi yang terus merosot.

Sementara itu, sebagian petani lainnya kurang tertarik menerapkannya sebab masih trauma dengan teknik penyambungan batang yang pernah diajarkan para petugas Dinas Pertanian setempat pada tahun 1987. Ketika itu, petani diyakinkan penyambungan batang produktif hanya boleh dilakukan dengan batang lain yang kurang produktif yang berusia sama.

Teknologi yang diajarkan ternyata kurang memberikan hasil optimal. Bahkan, tidak sedikit petani yang gagal. ”Itu sebabnya, banyak petani kurang tertarik melakukan penyambungan batang kopi saat diperkenalkan kepada sejumlah petani pada awal tahun 2003,” ungkap Guntur Basuki (51), Ketua Kelompok Tani Mandiri di Desa Air Meles, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong.

Para petani baru mulai bergairah melakukan penyambungan batang sejak tahun 2008 setelah melihat bukti adanya peningkatan produksi yang cukup signifikan pada kopi milik mereka yang telah mengembangkan teknik itu pada tahun 2003. Bayangkan saja, satu pohon bisa menghasilkan 2,5 kilogram sampai tiga kilogram, padahal sebelumnya hanya maksimal dua ons per pohon. Tanaman pun cenderung pendek dengan tangkai yang melebar sehingga memudahkan petani memanen.

”Saya termasuk orang yang paling terlambat melakukan penyambungan batang kopi karena baru mengerjakan itu pada pertengahan tahun 2009. Sekitar 2.500 pohon yang telah disambungkan. Moga-moga semuanya berhasil,” ujar Guntur yang memiliki 5.000 pohon kopi.

Andalkan embun

Penyambungan dilakukan dengan mengambil salah satu ranting dari kopi yang produktif. Batang itu dipotong hingga menyisahkan panjangnya sekitar tujuh sentimeter. Pada salah satu ujung batang tersebut diiris sedikit tipis.

Saat yang sama dipotong pula batang dari pohon kopi yang kurang atau tidak produktif. Ujung batang pohon ini juga diiris sedikit lalu ditempelkan dengan batang dari kopi produktif yang telah tersedia. Kedua batang yang telah tersambung itu diikat dengan tali rafia kemudian dibungkus dengan plastik.

Batang yang tersambung tersebut nantinya mendapatkan sumber air dari embun. Jika berhasil, beberapa pekan kemudian akan tumbuh tunas baru dari tempat penyambungan itu.

”Penyambungan batang ini banyak yang berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang gagal. Waktu penyambungan yang terbaik saat musim kemarau sebab saat itu batang yang tersambung mendapatkan banyak embun untuk memicu tumbuhnya tunas,” jelas Parnianto yang telah sukses melakukan penyambungan 2.500 pohon kopi miliknya.

Penyambungan batang kopi yang dilakukan para petani di Rejang Lebong tidak mengenal batas usia tanaman. Batang dari pohon kopi produktif berusia 10 tahun dapat disambungkan dengan batang yang berusia lebih dari 30 tahun. Hasilnya, tanaman itu mampu berbuah lebat lagi dengan menghasilkan 2,5 kilogram sampai tiga kilogram per pohon dalam satu musim.

Namun, proses pengerjaan tersebut tidak hanya tergantung bibit yang berkualitas tinggi. Lebih dari itu, dibutuhkan kesabaran yang tinggi dari petani. ”Mereka yang bekerja melakukan penyambungan batang harus benar-benar menyatukan diri dengan tanaman agar usaha itu membuahkan hasil,” ungkap Guntur.

Sadar akan antusiasme tinggi dari para petani kopi di Rejang Lebong melakukan penyambungan batang, sejumlah petani yang telah sukses mulai menawarkan jasa tenaga sekaligus bibit yang terbaik. Setiap batang dikenai tarif Rp 2.000. Bahkan, penyedia jasa tersebut bertanggung jawab sampai batang yang tersambung itu menumbuhkan tunas baru. Jika gagal, tarifnya dikurangi beberapa persen.

Tanpa warung

Kepala Bidang Produksi dan Pengembangan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Rejang Lebong Abi Sofyan menilai, teknik penyambungan batang menjadi pilihan yang paling efektif dalam meningkatkan produktivitas. Apalagi pembiakan melalui biji kerap menimbulkan kekecewaan, sebab hasil produksi tak sebagus induknya. Sebaliknya, dengan penyambungan dipastikan kopi yang diproduksi sebanyak induknya,” ujar Abi.

Saat ini sekitar 60 persen petani kopi Rejang Lebong telah mempraktikkannya. Pemerintah Rejang Lebong juga sedang mendatangkan bibit kopi unggul dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur, yang dibiakkan dengan metode somatic embryogenesis.

Luas lahan kopi di Rejang Lebang tercatat 8.872 hektar untuk kopi robusta dan 2.888 hektar kopi arabika. Luas lahan tanaman kopi belum berproduksi 934 hektar, sebaliknya tanaman kopi tua seluas 525 hektar.

Harus diakui bisnis kopi di Rejang Lebong belum bergerak ideal. Persaingan di tingkat pengepul juga tidak berjalan sempurna karena jumlah pelakunya masih terbatas. Untuk itu, Asosiasi Ekspor Kopi Indonesia (AEKI) diminta membangun gudang kopi di Rejang Lebong. Tujuannya ada alternatif pengepul kopi sehingga harga beli biji kopi di tingkat petani menjadi lebih baik.

Anehnya, meski Rejang Lebong termasuk sentra produksi kopi, di Kota Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong, sulit ditemui warung kopi. Tanpa warung kopi, predikat Rejang Lebong sebagai sentra produksi kopi bakal diklaim cuma sekadar omong kosong. Inilah tantangan lain yang perlu diatasi. (HARYO DAMARDONO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com