Di Sumatera Utara, untuk sekolah menengah atas negeri (SMAN) jurusan IPS nilai rata- rata Bahasa Indonesia hanya 7,05, sementara Bahasa Inggris 7,90. Bahkan, untuk sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) nilai rata-rata Bahasa Indonesia hanya 6,67, sementara mata pelajaran Matematika mencapai 7,64.
Dari 9.844 siswa yang tidak lulus UN, sebagian besar karena tak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. Itu, misalnya, terjadi di SMKN 7 Medan. Dari 162 siswa yang tak lulus, sebanyak 145 orang di antaranya tidak mempunyai cukup nilai untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sehingga dinyatakan tak lulus.
Dosen Bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Medan, Mutsyuhito Solin, menjelaskan, rendahnya nilai Bahasa Indonesia tersebut karena intensitas pelajaran Bahasa Indonesia rendah. ”Pengajarannya tidak dalam,” ujarnya di Medan, Selasa (27/4).
Rendahnya intensitas tersebut, antara lain, ditandai dengan tidak adanya bimbingan belajar yang secara khusus mendalami Bahasa Indonesia. Bimbingan belajar cenderung mendalami mata pelajaran eksakta atau Bahasa Inggris.
Selain itu, kata dosen Pascasarjana Universitas Muslim Nusantara itu, pola pengajaran Bahasa Indonesia masih disamakan dengan pola pengajaran bahasa asing.
Guru-guru mengajarkan Bahasa Indonesia yang sangat dasar, seperti mengenai pengucapan, gramatika, dan pilihan kata. Itu sama persis dengan saat para guru mengajar siswa Bahasa Inggris. Padahal, para siswa SMA semestinya mempelajari Bahasa Indonesia dari sisi penalaran dan konteks.
Menurut dia, sebanyak 80 persen sampai 90 persen soal Bahasa Indonesia disusun dengan logika penalaran dan konteks tersebut. Soal-soal UN dirancang berdasarkan kurikulum yang ada. Namun, siswa kesulitan mengisi soal-soal Bahasa Indonesia karena gurunya mengajar sesuai dengan kurikulum yang banyak berisi penalaran dan konteks.
Di samping itu, lanjutnya, masih kuat anggapan bahwa Bahasa Indonesia kalah penting daripada mata pelajaran lain. Jadi, untuk apa serius mempelajarinya. ”Bahkan, ada yang menilai bahwa mereka sejak kecil sudah bisa berbahasa Indonesia sehingga tak perlu repot-repot mendalaminya,” kata Mutsyuhito.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Medan itu juga melihat adanya ketidaksesuaian pengajaran Bahasa Indonesia di beberapa sekolah. Bagi siswa SMK, misalnya, mereka dididik dan dilatih agar terampil secara motorik. Sadar atau tidak, mereka kemudian menilai bahwa Bahasa Indonesia bukan yang utama.
Hal itu diakui Kepala Sekolah SMKN 7 Amiruddin. Menurut dia, banyak siswanya yang kesulitan menangkap makna teks dalam soal-soal UN Bahasa Indonesia. ”Teksnya panjang-panjang. Siswa kesulitan menyimpulkan sisi dari teks tersebut sehingga banyak jawaban salah,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah guru di Kabupaten Labuhan Batu belum menandatangani surat kelulusan UN. Mereka beranggapan, pemindaian hasil UN harus diperiksa lagi karena sangat mungkin terjadi kesalahan sehingga banyak siswa tak lulus. Di SMAN 2 Labuhan Batu Induk, yang merupakan sekolah favorit, terdapat 99 siswa tak lulus UN. Hal itu mereka anggap ganjil.
Keluhan itu disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Labuhan Batu Induk Heryanto kepada Ketua Tim Pemantau Independen UN Sumut Syawal Gultom.
”Mereka baru mau tanda tangan kalau ada pemeriksaan ulang pemindaian tersebut,” ujar Syawal.
Ketua Penyelenggara UN
Dia menyarankan, sebaiknya guru-guru di Labuhan Batu Induk langsung melapor ke Kementerian Pendidikan Nasional atau Badan Standar Nasional Pendidikan.