Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kuliner Jadi Daya Tarik Wisata

Kompas.com - 24/05/2010, 14:46 WIB

Kuliner menjadi pendukung bahkan dapat menjadi daya tarik utama pariwisata di suatu daerah. Turis atau pendatang yang berkunjung ke suatu daerah pasti tidak akan terlepas dari kebutuhan makan dan minum. Namun banyak pula turis atau pengunjung yang sengaja mendatangi suatu daerah untuk mencari kuliner khas daerah itu, yang dikenal enak dan tidak ada duanya di daerah lain.

Pemerintah Kota Solo menggarap daya tarik kuliner dengan membangun kawasan Gladak Langen Bogan (Galabo). Segala macam makanan khas Kota Solo, seperti gudeg ceker, nasi liwet, tengkleng, bestik, hingga cambuk rambak ada di tempat yang buka mulai sore hari ini.

Mulai tahun ini, Pemerintah Kota Solo melalui Dinas Pariwisata Kota Solo lebih mempertajam citra Kota Solo sebagai kota kuliner dengan menggelar Festival Kuliner 2010 pada 22-23 Mei 2010. Bertempat di Jalan Sudirman, tidak jauh dari Galabo, festival ini berusaha menghadirkan kekayaan kuliner Kota Solo, terutama yang sudah jarang dikenal masyarakat.

"Sering-sering saja ada acara seperti ini, bisa menambah pendapatan," kata Diana (51), yang berjualan aneka jenang, botok, cakar presto, dan donat dengan label nYuss, Minggu (23/5).

"Saya jadi tahu, makanan yang semula belum tahu," kata Rohmi (23), pengunjung dari Grogol, Sukoharjo, merujuk pada istilah keleman yang mengacu pada berbagai jenis jajan tradisional, seperti garang asem, carang gesing, botok, dan lainnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo Purnomo Subagyo mengatakan, selain untuk menambah daya tarik pariwisata, festival ini juga bertujuan untuk pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Sayangnya, dari 40 stan yang disediakan gratis, separuh stan-stan yang ada kosong.

"Ini menjadi bahan evaluasi bagi kami. Ternyata dengan menggratiskan stan, banyak pihak yang seenaknya karena mungkin merasa tidak rugi apa-apa jika tidak jadi datang mengisi stan. Namun, kami akan tetap membuat ini menjadi acara tahunan. Kalau bisa dibuat lebih dari sekali dalam setahun, lebih bagus," kata Purnomo.

Ketua panitia, Krisna Murti dari Ide Unik Production, yang digandeng untuk menyelenggarakan acara ini beralasan, banyak calon pengisi stan yang khawatir tidak laku sehingga tidak jadi hadir. "Mereka yang tidak hadir malah banyak yang merupakan binaan dari dinas," kata Krisna.

Ditambahkan Purnomo, diperlukan paguyuban pembuat dan pedagang kuliner agar lebih mudah dikoordinir. Namun hal ini bergantung pada kerja sama dengan instansi lain yang mengurusi masalah tersebut.

Peta kuliner

Sementara, Ketua Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Bayu Wijayanto di Salatiga, Minggu (23/5), menyebutkan, diperlukan semacam peta kuliner yang disiapkan pemerintah kabupaten/kota untuk memandu orang yang baru pertama berkunjung ke wilayah Jateng.

Menurut Bayu, belum ada satu pun kabupaten/kota di Jateng yang khusus menyiapkan peta semacam ini. Padahal, dengan porsi pengeluaran makanan wisatawan sekitar 30 persen, jumlah uang yang beredar di sektor ini sangat besar. Belum lagi yang mendapat manfaat merupakan usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan.

"Tentunya setelah berani membuat peta itu dan membagikannya secara cuma-cuma, pemerintah juga harus membantu memfasilitasi sekaligus mengawasi agar kualitas kuliner itu tetap terjaga," kata Bayu.

Selain kendala promosi, penjual kuliner, terutama di kawasan wisata, kerap kesulitan mengatur ketahanan modal. Apalagi, untuk mengakses kredit perbankan, mereka kerap kesulitan karena berhadapan dengan keharusan menyediakan agunan.

"Kalau sedang liburan, kami harus sedia barang sampai lima kali lipat. Sementara siklus usaha kuliner di lokasi wisata itu sebelum liburan, modal terpakai untuk menutupi masa sepi," ujar Fristiono (33), penjual tahu serasi dan sate kelinci di Bandungan.

Sebagai gambaran, pada musim liburan, dari kedai makannya yang sederhana, omzet Fristiono berkisar Rp 2,5 juta-Rp 7 juta per hari. Sementara saat hari biasa nonliburan, omzet usahanya berkisar Rp 100.000-Rp 500.000 per hari. (eki/gal)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com