Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Devy Suradji, "The Flying Mom"

Kompas.com - 24/10/2010, 09:13 WIB

KOMPAS.com - Devy Suradji (40) bagai burung yang gemar bermigrasi. Minggu lalu, dia singgah di New York, minggu ini di Budapest, minggu depan dia mungkin di Shanghai. ”Teman-teman menyebut saya the flying mom,” kata dia.

Apa yang sebenarnya dia cari? Dia tersenyum tipis ketika disodorkan pertanyaan itu. Dengan suara lembut tetapi tegas, dia menjawab, ”Saya bepergian karena pekerjaan,” ujar Direktur Marketing dan Komunikasi WWF Indonesia itu, pekan lalu di rumahnya yang asri di Cipinang Baru, Jakarta Timur.

Sepuluh bulan terakhir ini, Devy telah singgah di delapan negara, yakni Singapura, Malaysia, Hongkong, China, Belanda, Jerman, Hongaria, dan Amerika Serikat. Di negara-negara itu, dia rapat, seminar, memelihara jaringan, membahas program kerja, negosiasi dengan donor, atau sekadar berbagi informasi dengan koleganya sesama pegiat WWF.

Kalaupun dia sedang berada di Indonesia, dia tidak selalu ada di rumah atau kantornya di Jakarta. Barangkali minggu ini dia di Bali, minggu depan mungkin di Wakatobi untuk mengampanyekan kesadaran tentang konservasi alam kepada publik. Itu sebabnya, dia selalu berpesan, ”Kalau mau telepon saya, SMS dulu ya. Barangkali saya sedang tidak di sini (Jakarta).”

Begitulah kehidupan Devy, bagai rangkaian perjalanan dari satu bandara ke bandara lain, dari satu pesawat ke pesawat lain. Dan, Jakarta tempat dia tinggal dan bekerja seolah seperti tempat transit.

Apa mau dikata, perjalanan karier membawanya selalu bepergian. ”Saya juga heran dari dulu kalau dapat pekerjaan, pasti selalu menuntut saya bepergian. Ini seperti takdir,” ujar Devy yang pernah bekerja di PT Surveyor Indonesia selama 8 tahun, 8 bulan, 8 minggu, dan 8 hari sebelum bergabung dengan WWF Indonesia.

”Orang bilang, ’I love travelling’. Padahal, saya orang rumahan yang selalu panik kalau harus bepergian,” kata sarjana Fakultas Perikanan dari Institut Pertanian Bogor dan master manajemen lingkungan dari University of New Haven, Amerika Serikat.

Kenapa panik? Rupanya Devy tergolong orang yang cerewet soal perencanaan. Apa pun direncanakannya secara detail, termasuk pakaian yang akan dia pakai. Sebelum bepergian, dia akan menentukan pakaian ini untuk bertemu orang itu, pakaian itu untuk bertemu orang ini, dan seterusnya.

Soal pakaian memang bukan sesuatu yang remeh temeh buatnya. ”Itu bisa menentukan kesan orang. Dan, kesan pertama itu penting,” ujar perempuan kelahiran Jakarta tahun 1970 yang menyukai fashion ini.

Di luar urusan dirinya sendiri, Devy merasa harus tetap bisa mengendalikan semua urusan rumah tangga meski sedang berada jauh dari rumah. ”Kalau saya pergi tujuh hari, saya siapkan pakaian kerja suami dan semua kebutuhan anak saya untuk tujuh hari. Makanya, teman-teman menyebut saya the flying mom, ha...ha...ha,” tutur Devy, diikuti tawa renyah.

Indonesia banget
Devy sempat menghabiskan beberapa tahun masa kecilnya di Amerika Serikat karena mengikuti ayahnya yang sedang kuliah. Setelah dewasa dan bekerja, dia sering bepergian ke luar negeri dan bergaul dengan orang dari aneka bangsa. Meski begitu, dia tidak merasa sebagai ”warga dunia” yang kosmopolitan. Dia tetap merasa 100 persen Indonesia banget.

Meski bicaranya campur-aduk antara bahasa Indonesia dan Inggris—dia menganggap itu sebagai kelemahan utamanya—dia tetap berpikir dan bertingkah laku seperti orang Indonesia kebanyakan. ”Teman-teman saya di luar negeri heran. Saya punya karier dan penghasilan sendiri, tetapi masih mau repot-repot men-service suami. Saya jawab, itu bukan service. Saya hanya ingin be a right wife. Mengapa? Karena saya orang Indonesia.”

Selera makannya pun Indonesia banget. Siang itu, dia mengajak kami makan siang dengan lauk sayur mangut—ikan dimasak santan—dan tahu isi goreng. Tidak lupa, dia menyediakan cabai rawit mentah yang bisa langsung diklethus.

Kami makan di teras rumah yang menghadap langsung ke sebuah taman cantik. Di sana ada tanaman hias, rumput hijau, kolam ikan, gemericik air, dan air yang merayap turun di dinding setinggi dan selebar kurang lebih 4 x 15 meter.

Rumah itu menjadi semacam oase di tengah aktivitasnya yang padat dan dinamis. ”Kami belum tentu setiap hari bertemu suami. Kadang saya baru pulang dari Bali, eh suami saya pergi ke Bali. Tetapi, you know kami punya our time dan saat untuk quality talk, yakni ketika kami berkendaraan bersama menuju kantor,” katanya dengan sisipan bahasa Inggris di sana sini.

Karier dan rumah tangga juga tidak menghalangi Devy untuk memiliki waktu guna sekadar bersenang-senang melepas lelah. Dia biasa kumpul-kumpul dengan koleganya setiap Jumat malam. ”Friday is a game night buat kami. Saya tidak melarang suami saya pergi malam itu sebab dia juga punya banyak teman. Buat saya, go out itu penting untuk sosialisasi dan networking,” ujar Devy.

 

Saya cinta Jakarta
Devy tahu bagaimana mengurus lingkungan yang sehat dan nyaman. Namun, dia harus menerima kenyataan hidup di Jakarta yang kualitas lingkungannya sebagian besar amburadul. Antara apa yang dia pelajari dan apa yang dia lihat berbeda bagai bumi dan langit.

Di kota ini nyaris setiap hari dia harus berhadapan dengan kemacetan. Nyaris setiap saat dia menyaksikan orang dengan enaknya membuang sampah sembarangan. Tidak sakit hati?

”Ha-ha-ha. Kalau Anda tidak cocok tinggal di sini, sebaiknya Anda pindah. Itu jalan yang paling mudah,” katanya.

Seburuk-buruknya kondisi Jakarta, Devy tetap jatuh cinta pada kota ini. ”Di sini, kehidupan benar-benar hidup 24 jam. Mau cari apa saja masih bisa. New York saja belum tentu seperti ini,” selorohnya.

Pada akhirnya, lanjut Devy, soal kesadaran untuk menciptakan lingkungan yang baik mesti dimulai dari tingkat individu. Devy mencontohkan, dia selalu memilah sampah organik dan nonorganik, mengurangi pemakaian listrik di rumah, membatasi makanan laut, dan mengurangi pemakaian kantong plastik.

Namun, lanjutnya, perilaku ramah lingkungan seperti yang dia tunjukkan malah sering dianggap aneh. Suatu ketika, misalnya, dia pergi berbelanja di sebuah mal. Dari rumah, dia sengaja membawa koper kecil untuk mengangkut barang belanjaan sehingga dia tidak perlu memakai plastik. ”Apa yang terjadi, ke mana saya pergi diikuti terus sama security,” ujarnya.

Kendati begitu, Devy bertekad untuk terus menanamkan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bersama teman-temannya di WWF, dia mengampanyekan perilaku ramah lingkungan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat urban.

Mengapa masyarakat urban?

”Karena mereka paling susah diajari soal konservasi lingkungan. Mereka bilang peduli lingkungan, tetapi kalau diminta mengurangi kenyamanan hidupnya, misalnya, dengan membatasi makan sea food atau menghemat energi, mereka enggak mau,” ujar Devy dengan wajah sedikit dongkol.

(Budi Suwarna)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com