Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dian Abubakar: PR Bukan Cuma Cuap-cuap

Kompas.com - 31/10/2010, 12:43 WIB

KOMPAS.com - Kita pinjam judul novel Sutan Takdir Alisjahbana ini untuk melukiskan sosok Dian Noeh Abubakar (38). Lengkapnya perempuan ini bernama Dian Adriani Noeh Abubakar. Soal nama yang cukup panjang ini, Dian bisa tertawa sekaligus sebel sepanjang hari. Apa pasal?

Ayahnya, Noeh Abubakar, adalah seorang tentara tulen. ”Makanya, coba deh, kata ’adriani’ itu kependekan dari ’angkatan darat Republik Indonesia’. Coba, sebel enggak sih…,” cetus Dian.

Matanya yang bulat besar sebentar memejam untuk kemudian membelalak tajam. Pesona itu dilengkapi dengan belahan kecil di dagunya. Aih... aih…, senja pada Rabu (27/10) bisa lewat tak terasa jika mengobrol dengan Vice President Weber Shandwick, sebuah lembaga konsultan public relations yang berbasis di New York, Amerika Serikat, ini. Apalagi kecipak air yang terjun merambat dinding serta telaga kecil yang menyemburkan keteduhan membuat kami betah berlama-lama.

Coba deh, kata Dian lagi, dua adik perempuannya juga diberi embel-embel nama yang serupa, Dina Adriana Noeh Abubakar dan Dita Andritia Noeh Abubakar. Kata ”adriana” dan ”andritia”, keduanya berkonotasi sama, yakni ”angkatan darat Republik Indonesia”. ”Tuh, coba keterlaluan enggak, sih, ha-ha-ha-ha….” ujar Dian.

Tertawanya lepas. Lagi-lagi matanya membelalak. Mata itu didapat Dian dari percampuran darah ayahnya yang Aceh dan ibundanya yang Madiun-Sunda. Lengkap bukan darah ekspresif yang mengalir dalam tubuhnya?

Tiba-tiba wajah ceria Dian berubah cemberut. Bagaimana tidak, bencana beruntun yang menimpa Indonesia telah menghantam banyak orang. Bahkan, rumah Dian sendiri di kawasan Buncit, Jakarta Selatan, untuk pertama kalinya kemasukan air. ”Anakku Aryo dievakuasi pakai perahu karet. Ini seumur-umur lho….” Akibat kebanjiran itu, Dian mengungsi sejak beberapa hari di rumah adiknya.

Menurut Dian, negara harus memiliki public relations (PR) yang baik. Jangan salah tanggap, PR tidak berarti hanya cuap-cuap lalu disebarkan ke media massa. Apalagi di musim bencana seperti sekarang ini ketika negara dibutuhkan hadir secara cepat dalam mendampingi rakyat yang menderita.

I am a very positive person. Potensi kita itu banyak, tetapi kalau sudah bernama itu biasanya tidak murni lagi untuk membantu….” kata Dian.

Kami sedang mengobrolkan soal mengapa negara terkesan selalu terlambat hadir menemani rakyat di saat-saat mereka membutuhkan pertolongan. ”Aku lebih suka kalau bikin gerakan, kita lepaskan segala atribut lalu bergerak atas nama kemanusiaan,” tegas Dian, yang pernah menjadi wartawan di Special Broadcast System (SBS) sebuah jaringan radio di Melbourne, Australia.

Sebagai orang yang biasa menangani komunikasi publik berbagai korporasi besar dunia, Dian merumuskan tiga hal yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. ”Ciptakan rasa aman, lalu tunjukkan leadership yang kuat, dan care, sayang dong sama rakyat. Penerjemahannya, kan, tinggal menggunakan simbol-simbol saja. Misalnya, ya, temani rakyat menghadapi masa-masa sulit….” ujar Dian.

”Leadership”
Leadership yang kuat, kata Dian, tidak hanya bergerak secara struktural. Gerakan-gerakan horizontal juga dibutuhkan untuk pemberdayaan. Sebagai pengajar di Prasetiya Mulya, Dian mengaku sangat kagum dengan generasi sekarang.

”Anak-anak sekarang, tuh, serius, orang-orang yang kerja, kalau ada hal yang tidak berkenan spontan mereka katakan. I am so happy bisa mengajar di sana,” tutur penggemar berat buku-buku Umar Kayam, Mochtar Lubis, dan Sindhunata, ini.

Jika tiba-tiba ditunjuk menjadi PR untuk memulihkan citra negara di mata rakyat pada masa krisis, karena banyak musibah, apa yang bisa Dian lakukan?

Hal yang paling pasti, ujar Dian, tugas itu tidak mudah. Namun, tambahnya, sejak awal mesti dirumuskan dahulu brand name Indonesia itu apa, lalu tantangannya juga apa.

”Karena bisa jadi, lantaran begitu banyak aset yang kita miliki, malah membingungkan. Kita ingin Indonesia ini dilihat seperti apa sih? Potensi orang pintar banyak, art and culture juga begitu berlimpah. Dan, yang penting dari itu semua action, progresi harus disertai dengan action….” tutur Dian.

Ia mengaku tak mau menggurui para petinggi negara, yang jauh lebih jago dalam teori berkomunikasi dengan publik.

Petang sudah menjelang. Lampu-lampu di telaga dinyalakan. Ada pendar-pendar cahaya yang lindap dalam air. Dian menyeruput cappuccino yang dipesannya sejak tadi. Lalu dengan lahap ia menyantap kentang goreng yang kami pesan. Memang, perempuan ini tak pernah henti dari beragam aktivitas…. Ia seperti dian yang tak kunjung padam, sebagaimana dilukiskan dalam novel Sutan Takdir Alisjahbana itu….

Dian Noeh Abubakar
Lahir: Bandung, 23 November 1973
Pendidikan:
* 1991-1995  STEKPI Jakarta
* 1996-1998  Komunikasi RMIT Melbourne, Australia

Pekerjaan:
* 1996-1998  Kontributor Radio Special Broadcast System (SBS) Melbourne, Australia
* 1999-2002  Ogilvy PR Jakarta
* 2002-2003  Time International
* 2005-2007  UBS AG Jakarta
* 2007-2009  Ogilvy PR Jakarta
* 2009-sekarang  Vice President Weber Shandwick Indonesia

(Putu Fajar Arcana)

 

 


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com