Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diana Tarigan: Pendengar untuk yang Curhat

Kompas.com - 03/01/2011, 08:57 WIB

KOMPAS.com — Siapa bilang psikologi hanya menganalisis perilaku orang yang punya masalah kejiwaan? Di zaman sekarang, psikologi justru makin populer karena banyak menyentuh masalah keseharian individu.

Nama aslinya adalah Rosdiana Setyaningrum (37). Namun, publik mengenalnya sebagai Diana Tarigan. Diana adalah nama panggilan perempuan yang berprofesi sebagai psikolog ini, sementara Tarigan adalah nama belakang sang suami, Victor Tarigan.

Sebelum bertemu di tempat praktiknya di Klinik Intermed Healthcare, Jakarta, pertengahan Desember lalu, perkenalan itu sebetulnya sudah berlangsung di Facebook. Di sini bisa dibaca tulisan-tulisan Diana yang sebagian besar bercerita tentang peristiwa yang dia temui sehari-hari, di antaranya cara menghadapi anak yang malas makan atau tentang anak yang tidak punya rasa percaya diri.

”Itulah psikologi. Psikologi tidak hanya menganalisis orang yang punya masalah kejiwaan. Bahkan, dari pengalaman praktik selama ini, kasus yang terkait masalah kejiwaan hanya sekitar 30 persen. Selebihnya, saya memberi konseling kepada orang biasa yang punya masalah dalam kehidupan sehari-hari,” tutur Diana.

Selain di Intermed, Diana juga menjadi psikolog di Rumah Sakit Pluit, tempat dia biasa bertemu pasien yang mengalami berbagai gangguan jiwa.

Untuk mengubah citra mengerikan psikologi, Diana berusaha menjelaskan ilmu tersebut dalam konteks kehidupan sehari-hari. Salah satu caranya dengan menulis dan menjadi narasumber di media massa.

Selain di Facebook dan situs miliknya, www.balanceyourlife.info, Diana juga menulis di majalah bulanan. Selain itu, dia juga menjadi narasumber acara talkshow di radio dua minggu sekali.

Berbeda dengan apa yang dijumpai di rumah sakit, menjadi psikolog di Intermed atau narasumber di media membuat Diana bisa menganalisis perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. ”Misalnya, soal stres. Saat ini orang di Jakarta lebih gampang stres karena hal-hal kecil. Pemicunya mulai dari masalah kemacetan sampai tidak bisa bergaul dengan teman-temannya,” tutur Diana.

Terkadang ada juga klien yang hanya meminta pendapat, apakah laki-laki yang akan menikahinya adalah orang yang tepat untuk menjadi suami. Atau orangtua yang punya anak yang pintar, tetapi tidak punya rasa percaya diri.

Psikolog lulusan Universitas Indonesia ini memang punya ketertarikan di bidang perempuan dan parenting (pola asuh orang tua). ”Karena, bagi saya, di tengah tuntutan banyak peran bagi seorang perempuan, dia harus berani menentukan kemauannya sendiri,” tutur Diana menjelaskan mengapa dia tertarik dengan bidang perempuan.

Sementara soal pola asuh, ibu dua anak ini menilai, saat ini masih banyak anggapan bahwa status sebagai orangtua didapat secara alami setelah seseorang menikah dan punya anak. Padahal, salah asuh yang dilakukan orangtua bisa menjadi masalah di kemudian hari, bahkan hingga anak tumbuh dewasa.

Dan, pada dua tahun terakhir, spesialisasi perempuan yang gampang diajak ngobrol ini bertambah. Dia memberi pendampingan kepada anak-anak berkebutuhan khusus, seperti penderita autisme dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

Kegiatan terakhir ini bermula dari aktivitasnya mengajar di College of Allied Educators, yaitu lembaga pendidikan bagi mereka yang tertarik untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus. ”Mahasiswa saya adalah ibu-ibu dan para terapis. Tetapi, lama-lama saya berhubungan langsung dengan si anak karena ada orangtua yang membawa anaknya kepada saya setelah tahu saya psikolog,” kata Diana.

Dunia ini ternyata membuat Diana tertantang karena menjadi psikolog bagi anak berkebutuhan khusus tidak hanya harus memberi terapi kepada si anak, tetapi juga konseling kepada orang tua. Apalagi, mendidik anak-anak seperti ini membutuhkan kesabaran ekstra.

Pendengar yang baik
Lalu, bagaimana Diana bisa tertarik pada bidang psikologi?

Ternyata, bakatnya menjadi psikolog sudah terlihat sejak kecil. ”Kalau diingat, saya sudah jadi tempat curhat teman-teman sejak SD. Entah kenapa, banyak teman yang cerita panjang lebar, bahkan sampai nelepon ke rumah. Padahal, saya tukang dengerin doang,” katanya.

Memasuki usia SMP, Diana mulai suka membaca rubrik psikologi di surat kabar. Pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku orang dari cerita yang dia baca mulai muncul di benaknya.

”Hobi” menganalisis perilaku orang lain ini kemudian diperdalam setelah dia diterima di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Ketertarikan pada psikologi membuat Diana tak memilih jurusan lain saat mendaftar kuliah. ”Saya daftar juga di Universitas Airlangga dan Universitas Surabaya. Semuanya jurusan psikologi,” katanya.

Sejak dulu Diana memang hanya suka mendengarkan cerita orang tanpa memberi nasihat. ”Menjadi psikolog, kan, tidak memberi solusi, hanya memberi wawasan, pilihan, dan menjelaskan konsekuensinya. Keputusan tetap ada di tangan klien,” katanya.

Selain klien, apakah teman dan saudara juga suka cuhat? ”Oh, pasti. Selalu cur-col (curhat colongan) saya harus selalu siap mendengarkan mereka, ha-ha-ha,” kata Diana.

Hilangkan stres dengan pijat
Dengan psikologi, Diana tak hanya membantu orang dengan memberi konseling. Dia juga memakai ilmu yang dikuasai untuk kehidupannya sendiri. Salah satunya dalam mendidik anak.

”Sudah pasti saya dimudahkan oleh ilmu yang saya miliki. Minimal saya tahu perkembangan yang sedang dialami anak-anak,” ujar ibu dari Alyssa Rosvita Tarigan (9) dan Amalia Rosalie Tarigan (5) ini.

Salah satunya adalah ketika Diana dan Alyssa bersepakat untuk punya kegiatan yang disebut ”Alyssa and Mommy Time”. Setiap Kamis sore, sepulang Alyssa dari sekolah, Diana selalu mengajak putri pertamanya tersebut jalan-jalan.

”Enggak jauh-jauh, kok, paling jalan-jalan ke mal, makan, manicure, dan pedicure. Pokoknya centil-centilan berdua he-he-he.... Sebagai orangtua, kan, mesti menyisihkan waktu buat anak,” kata Diana.

Hal ini dilakukan Diana karena dia tak punya banyak waktu untuk bersama si sulung, yang sudah banyak berkegiatan di luar waktu sekolah. Ini berbeda dengan waktu yang dimiliki Diana untuk Amalia.

”Jadi, saat ada waktu luang, kami manfaatkan bersama. Tetapi untuk sementara, kegiatannya berhenti karena Alyssa harus les bahasa Mandarin setiap Kamis. Jadi, kami harus mencari waktu yang lain,” kata Diana.

Selain menyisihkan waktu bersama anak, melalui psikologi, Diana belajar menghindarkan diri dari stres. Setelah menganalisis dirinya sendiri, dia akan stres ketika capai secara fisik.

”Saya bisa menerima klien empat orang sehari dan tidak merasa stres karena secara fisik tidak merasa capai. Tetapi, saya bisa marah-marah kalau sudah ngetik seharian karena ini membuat saya lelah. Makanya, pekerjaan mengetik saya lakukan dengan cara dicicil supaya tidak capai dan jadi stres,” kata Diana.

Lalu, apa yang dilakukan kalau keburu stres? ”Pijat. Saya paling suka pijat. Apalagi sekarang ini saya baru dapat tukang pijat yang datang dari China. Enak banget mijatnya biarpun saya tidak bisa komunikasi dengan dia, ha-ha-ha,” kata Diana.

Dari pengalamannya ini, Diana pun memberi tips bagi warga Jakarta yang, menurut dia, sekarang ini menjadi mudah stres. ”Jangan pernah menumpuk stres. Saat stres sudah datang, harus langsung dihilangkan, kapan pun ada kesempatan,” katanya.

(Yulia Sapthiani)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com