Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan-perempuan Rangkasbitung

Kompas.com - 17/04/2011, 15:36 WIB

Budi Suwarna dan Aryo Wisanggeni

Beragam kisah bisa dikumpulkan dari lintasan kereta api. Di sini banyak perempuan perkasa berjuang untuk hidup. Siapa nyana, merekalah penopang gairah konsumsi warga metropolitan. Junaesih (44) terlihat lelah. Maklum, ketika hari masih gelap, Esih, begitu dia disapa, sudah harus berangkat dari rumahnya di pojok Desa Cicayur, Tangerang, ke Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Ini bukan perjalanan mudah. Dia berjalan kaki seorang diri di jalan tanah berbatu sejauh kira-kira 2 kilometer sambil menggendong sekarung daun singkong. Tujuannya selalu sama: Stasiun Cicayur.

Sesampainya di stasiun, Esih berjibaku untuk mendapat sejengkal ruang di Kereta Api Ekonomi Langsam yang akan membawanya ke Pasar Palmerah. Kereta itu setiap hari dipenuhi penumpang dan karung-karung berisi hasil pertanian dari Rangkasbitung.

Satu jam perjalanan, Esih tiba di Stasiun Palmerah. Dari situ, dia langsung menuju pasar dan menggelar dagangannya di pinggir jalan: sekarung daun singkong, tidak lebih tidak kurang. Pukul 09.00, dia kembali ke rumahnya di Cicayur dengan kereta yang sama.

Begitulah lakon hidup Esih dua tahun terakhir. Dari usahanya, perempuan yang ditinggal begitu saja oleh suaminya tersebut hanya memperoleh uang Rp 15.000-Rp 20.000 sehari. Sebanyak Rp 5.000 dia gunakan untuk modal membeli daun singkong di kebun tetangga dan Rp 3.000 untuk ongkos kereta pulang-pergi. Sisanya, Rp 7.000-Rp 12.000 hanya cukup untuk makan Esih dan tiga anaknya.

Esih setiap hari berjibaku bersama ratusan perempuan pedagang sayur agar bisa terangkut kereta ekonomi. Namun, kisah mereka tidak semuanya nelangsa. Di antara mereka ada yang bermodal cukup besar. Nanik (60), misalnya, setiap hari memutar uang Rp 2,5 juta-Rp 3 juta untuk bisnis buah dan sayur-mayur. Hasilnya cukup untuk membantu sembilan anaknya yang hidupnya belum mapan dan memberi jajan enam cucunya.

Minggu (10/4) siang, perempuan itu mengerahkan beberapa kuli stasiun untuk mengangkut 24 karung belanjaannya ke gerbong kereta ekonomi di Stasiun Rangkasbitung. Sebagian karung ditumpuk setinggi 1,5 meter di bordes gerbong. Sebagian lagi diletakkan di dalam gerbong. Praktis, karung-karung itu menutup hampir seluruh pintu masuk gerbong.

Beberapa penumpang yang terhalang gerakannya mengomel. Tapi, Nanik seolah tidak peduli. ”Saya sudah biasa dengar omelan macam begitu. Cuek sajalah,” katanya sambil mengibaskan tangan untuk mengusir gerah.

Nanik mengatakan, belanjaannya hari itu lebih sedikit dibandingkan dengan biasanya. Pasalnya, pasokan buah dan sayur-mayur dari Rangkasbitung belakangan ini berkurang. Itu sebabnya, Nanik berniat berburu belanjaan lain di beberapa stasiun yang dilewati.

Ketika kereta berhenti di Stasiun Citeras, Nanik—yang semula duduk manis—bangkit dan bergegas menuju jendela. Dia kemudian berteriak kepada orang di luar kereta, ”Heiii... ada sereh enggak?”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com