Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelelahan Akumulatif pada Pasangan

Kompas.com - 10/07/2011, 03:13 WIB

Sawitri Supardi Sadarjoen

Kasus:
     ”Ibu, boleh saya konsultasi melalui telepon sekarang?” ”Ada apa, Bu? Ya, boleh, tapi tidak lebih dari 15 menit, ya, Bu,” jawab konselor.

Ibu, perkawinan saya sudah berjalan 29 tahun. Selama ini, semua berjalan baik. Saya punya karier di satu departemen dan suami saya juga sama, Bu. Karier kami berjalan baik dan anak-anak pun sukses, tidak kurang suatu apa. Mereka sudah sarjana dan masing-masing memiliki karier mandiri. Suami saya menduduki jabatan yang cukup tinggi dalam pekerjaannya dan saya juga mengepalai satu seksi penting di kantor saya.

Hanya karena alasan menunggu anak-anak sekolah, sekitar 15 tahun lalu, diputuskan saya tetap tinggal bersama anak-anak. Sementara suami satu atau dua minggu sekali mengunjungi saya dan anak-anak, hingga saat ini.

Beberapa tahun lalu, saat anak-anak sudah selesai sekolah, saya minta untuk mulai kumpul, tetapi suami selalu melarang dengan alasan sebentar lagi pensiun karena dia sudah berumur 56 tahun. Walaupun saya di luar kota, saat kehadiran sebagai istri pejabat dibutuhkan, oleh kepala bagian, saya diberi izin untuk tidak masuk kantor guna mengikuti kegiatan istri-istri di kantor suami. Saya lakukan kegiatan itu dengan ikhlas, saat sering istri-istri bawahan suami yang bermasalah dalam keluarganya curhat, meminta nasihat, dan meminta saya membantu menyelesaikan permasalahan mereka.

Namun, Ibu, dua bulan lalu, salah seorang istri staf suami mengajak saya menyingkir sebentar dari kerumunan ibu-ibu dan bercerita bahwa suami saya punya hubungan khusus dengan artis penyanyi yang masih seusia dengan anak sulung saya. Penyanyi tersebut sering menjadi penyanyi penghibur pada pertemuan-pertemuan santai para pejabat di kantor suami saya. ”Aduh, Bu, mendengar berita itu saya serasa disambar petir, shock, Bu. Langsung serasa ditampar muka saya, serasa ditampar dengan kotoran binatang, Bu!” Demikian Ny L dengan nada suara yang semula penuh kemarahan menurun, melemah, disertai isakan tertahan. Ny L menyudahi hubungan telepon.

Ny L lebih lanjut mengungkapkan pada pertemuan pertama. ”Saya merasa terpuruk, terhina, terkhianati, merasa tidak berharga. Saya malu mengikuti pertemuan antar-istri pejabat, apalagi istri-istri bawahan suami saya. Karena biasanya saya yang menasihati cara-cara bersikap terhadap suami sementara istri yang curhat kepada saya. Aduh, Ibu, muka saya mau ditaruh di mana? Ibu, saya kehilangan harga diri, Bu,” katanya seraya meledak tangisannya.

Saya itu kurang apa ya, Bu. Saya tidak merepotkan suami, saya selalu berusaha menjadi pendamping yang baik dalam keterbatasan pertemuan dengan suami. Saya juga tidak memanjakan diri walaupun banyak fasilitas kantor suami yang dapat saya gunakan. Saya begitu percaya pada kesetiaan suami. Saya tidak pernah memeriksa ponsel suami seperti yang dilakukan oleh teman-teman saya. Saya tidak pernah merongrong suami dalam hal keuangan atau perhiasan-perhiasan mahal karena saya punya gaji yang bisa saya gunakan sekehendak hati saya.

Namun, suami saya tidak mengakui hubungan istimewanya itu. Dia bilang hanya sekadar pertemanan. Padahal, banyak orang yang saya tanyai sering melihat suami saya mengunjungi rumah perempuan itu.

Selanjutnya, konselor meminta Tn L untuk memberikan penjelasan tentang apa yang telah terjadi dalam perkawinannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com