Sebenarnya di kampus dan pesantren, sentuhan sastra sudah menjadi budaya. Sayangnya, tak ditumbuhkembangkan. Seorang mahasiswa atau santri yang jatuh cinta kepada lawan jenisnya suka menuangkan perasaannya dengan puisi. Itu adalah sastra.
Atau, kisah yang ia alami dalam satu hari didokumentasikan dalam buku harian menjadi cerita. Itu adalah embrio novel. Ibaratnya, seperti diungkapkan Lan Fang, novelis dan pembina Kopi Sareng (Komunitas Pencinta Sastra Tebuireng), ”Karya mereka laksana mutiara yang tinggal dipoles agar lebih berkilau.” (Kompas, 21/6/2011)
Berkreasi di Kaliopak
Komunitas Matapena memiliki agenda tahunan, Liburan Sastra di Pesantren (LSdP). Tahun ini (LSdP #6) dilaksanakan pada 24-26 Juni 2011 di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, yang dipimpin Jadul Maula. Diikuti sekitar 60 peserta dari berbagai universitas dan pesantren di Yogya, Wonosobo, Pati, Jepara, Kudus, Tasikmalaya, Indramayu, Jombang, Madura. Kami bertujuh dari Tebuireng, Jombang.
Awalnya kami hendak mengisi libur semester di rumah. Akan tetapi, karena acara ini terasa penting dan mengasyikkan, kami bertolak ke Yogya. Selain itu, pihak pesantren juga mendesak kami ikut. Kami, yang masuk dalam komunitas Kopi Sareng, menjadi rujukan teman-teman.
Hanya dengan membayar
Panitia sebenarnya mengundang sastrawan yang lahir dari pesantren, tetapi banyak yang berhalangan hadir. Seperti diungkapkan Isma Kaze, ”Kami berniat mengajak M Faizi (penyair asal Madura), namun beliau ada undangan ke Jerman untuk membaca puisinya” katanya. Sastrawan pesantren pun bisa bersaing di dunia sastra Internasional.
Kegiatan dalam LSdP#6 itu dimulai sejak subuh (seusai shalat), olahraga bersama, lalu sarapan. Setelah itu ada materi tentang sastra dan komunitas, seperti perkenalan 12 nilai pengembangan kunci pribadi dan sosial, motivasi menulis, menggali ide, membuat setting cerita, penokohan, dan alur. Agar suasana lebih cair, ada acara seperti pemutaran film MataPena rayon Tasikmalaya, out bond penanaman nilai sambil berkarya, tugas membuat cerpen sekali duduk, tahlilan sastra, dan teater.
Kami mendapat banyak manfaat dari liburan itu. Di samping mendapat banyak ilmu, bisa kenal banyak teman antarkampus dan pesantren. Rencana ke depan, kami—tim tujuh—akan membuat buletin atau majalah dinding yang terbit setiap bulan sekali. Selama ini banyak komunitas sastra di pesantren. Sayang mereka hanya mengadakan diskusi, perlombaan, bedah buku tanpa menerbitkan sesuatu.
Nah, oleh-oleh dari acara LSdP#6 ini salah satunya membuat karya. Kita harus pede sekalipun hasilnya mungkin kurang maksimal. Belajar menghasilkan, bukan hanya sekadar ocehan.
Bagi yang belum memiliki kesempatan mengikuti acara tersebut, tahun depan Matapena akan mengadakan LSdP #7.