Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tumbuhkan Semangat Menulis dan Bersastra

Kompas.com - 09/08/2011, 04:08 WIB

Jika ditanya tentang dunia tulis-menulis, mahasiswa Yogyakarta pastilah berperan. Hampir setiap hari, koran nasional memuat tulisan mereka.

Tak puas dengan itu, mereka mendirikan komunitas untuk menampung gagasannya. Dari ide itu, terbitlah buku, koran, buletin, kaos, stiker, serta desain ”banner” unik yang menghiasi Kota Gudeg.

Salah satu komunitas itu adalah Matapena. Komunitas ini didirikan menjelang tahun 2006 oleh sekumpulan mahasiswa dari berbagai bidang dan perguruan tinggi di Yogya. Mereka adalah pencinta sastra. Mayoritas adalah alumni pondok pesantren. Oleh karena itu, tema yang dikaji adalah sastra remaja pesantren.

Komunitas Matapena sudah menerbitkan 30 buku, terdiri dari novel, antologi cerpen, dan himpunan puisi. Semuanya ditulis mahasiswa dan santri. Komunitas ini juga mengadakan roadshow penulisan dan sastra ke sekitar 150 lembaga pendidikan di Indonesia.

Kini Rumah Kreatif Matapena beralamat di Jalan Lingkar Selatan Wojo 182 RT 06 Gang Nakulo, Bangunharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta. Anda juga bisa mengaksesnya lewat situs http://matapenajogja.blogspot.com.

Pesantren dan sastra

Dalam kacamata pendidikan, tak ada perbedaan mendasar antara kampus dan pesantren. Kampus adalah tempat pengajaran ilmu bagi peserta didik lulusan SMA. Begitu pula pesantren, lembaga pendidikan yang menaungi peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan.

Sistem pengajaran pun tak jauh berbeda. Di samping guru menerangkan, peserta didik juga dituntut bisa melakukan presentasi. Istilah di pesantren adalah sistem bandhongan dan sorogan.

Jika di kampus ada ujian tengah dan akhir semester, di pesantren ada istilah imtihan. Keduanya tak punya perbedaan jauh terkait kurikulum, sistem, dan budaya. Perbedaan hanya pada penggunaan istilah. Misalnya, di kampus

guru disebut dosen, sedangkan di pesantren bergelar kiai atau ustaz. Peserta didik di kampus itu mahasiswa, di pesantren disapa santri.

Sebenarnya di kampus dan pesantren, sentuhan sastra sudah menjadi budaya. Sayangnya, tak ditumbuhkembangkan. Seorang mahasiswa atau santri yang jatuh cinta kepada lawan jenisnya suka menuangkan perasaannya dengan puisi. Itu adalah sastra.

Atau, kisah yang ia alami dalam satu hari didokumentasikan dalam buku harian menjadi cerita. Itu adalah embrio novel. Ibaratnya, seperti diungkapkan Lan Fang, novelis dan pembina Kopi Sareng (Komunitas Pencinta Sastra Tebuireng), ”Karya mereka laksana mutiara yang tinggal dipoles agar lebih berkilau.” (Kompas, 21/6/2011)

Berkreasi di Kaliopak

Komunitas Matapena memiliki agenda tahunan, Liburan Sastra di Pesantren (LSdP). Tahun ini (LSdP #6) dilaksanakan pada 24-26 Juni 2011 di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta, yang dipimpin Jadul Maula. Diikuti sekitar 60 peserta dari berbagai universitas dan pesantren di Yogya, Wonosobo, Pati, Jepara, Kudus, Tasikmalaya, Indramayu, Jombang, Madura. Kami bertujuh dari Tebuireng, Jombang.

Awalnya kami hendak mengisi libur semester di rumah. Akan tetapi, karena acara ini terasa penting dan mengasyikkan, kami bertolak ke Yogya. Selain itu, pihak pesantren juga mendesak kami ikut. Kami, yang masuk dalam komunitas Kopi Sareng, menjadi rujukan teman-teman.

Hanya dengan membayar Rp. 100.000, panitia telah menyediakan penginapan plus makan tiga kali sehari. Kami berlibur sastra, belajar sambil bermain. Para novelis, cerpenis, dan sastrawan muda ikut membimbing kami, di antaranya Isma Kaze, Akhiryati Sundari, Saefuddin Amsa, Moh. Mahrus, Ma’rifatun Baroroh, Mahbub, Damhuri, Zakki Zarung, Pijer, Fina, Peppy, dan M Daroini. Hadir pula sastrawan Slamet Gundhono dengan orasi budaya.

Panitia sebenarnya mengundang sastrawan yang lahir dari pesantren, tetapi banyak yang berhalangan hadir. Seperti diungkapkan Isma Kaze, ”Kami berniat mengajak M Faizi (penyair asal Madura), namun beliau ada undangan ke Jerman untuk membaca puisinya” katanya. Sastrawan pesantren pun bisa bersaing di dunia sastra Internasional.

Kegiatan dalam LSdP#6 itu dimulai sejak subuh (seusai shalat), olahraga bersama, lalu sarapan. Setelah itu ada materi tentang sastra dan komunitas, seperti perkenalan 12 nilai pengembangan kunci pribadi dan sosial, motivasi menulis, menggali ide, membuat setting cerita, penokohan, dan alur. Agar suasana lebih cair, ada acara seperti pemutaran film MataPena rayon Tasikmalaya, out bond penanaman nilai sambil berkarya, tugas membuat cerpen sekali duduk, tahlilan sastra, dan teater.

Kami mendapat banyak manfaat dari liburan itu. Di samping mendapat banyak ilmu, bisa kenal banyak teman antarkampus dan pesantren. Rencana ke depan, kami—tim tujuh—akan membuat buletin atau majalah dinding yang terbit setiap bulan sekali. Selama ini banyak komunitas sastra di pesantren. Sayang mereka hanya mengadakan diskusi, perlombaan, bedah buku tanpa menerbitkan sesuatu.

Nah, oleh-oleh dari acara LSdP#6 ini salah satunya membuat karya. Kita harus pede sekalipun hasilnya mungkin kurang maksimal. Belajar menghasilkan, bukan hanya sekadar ocehan.

Bagi yang belum memiliki kesempatan mengikuti acara tersebut, tahun depan Matapena akan mengadakan LSdP #7.

(Fathurrahman Karyadi Mahasiswa Ma’had Aly Tebu ireng Jombang, Jawa Timur)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com