JAKARTA, KOMPAS -
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Supriyantoro, rumah sakit (RS) kurang peduli menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan. ”Soal ibu dan bayi masih dianggap tugas puskesmas,” kata dia, pada Seminar Nasional XI Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia di Jakarta, Rabu (19/10).
Tahun 2011, jumlah kematian ibu melahirkan 228 per 100.000 kelahiran. Target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), angka kematian ibu 102 per 100.000 kelahiran. Banyak pihak pesimistis target itu tercapai.
Bukti minimnya kepedulian RS, lanjut Supriyantoro, terlihat dari minimnya RS yang menerapkan program rumah sakit sayang ibu dan bayi (RSSIB). Dari 1.523 RS pada 2010, kurang dari 5 persen yang menerapkan program tersebut.
Kurangnya kepedulian RS itu juga diakui Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia yang juga Ketua Komite Akreditasi Rumah Sakit Sutoto. Untuk itu, dalam sistem akreditasi RS yang berlaku tahun 2012, keberhasilan RS mencapai target MDGs akan masuk penilaian.
Menurut Supriyantoro, untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu, Kementerian Kesehatan (Kemkes) mendorong penerapan program Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di RS dan Pengembangan Pelayanan Obstetri-nenonatal Emergensi dasar (PONED) di puskesmas. Dengan PONEK, layanan kebidanan di RS berlangsung 24 jam di instalasi gawat darurat (IGD).
”Keberhasilan penurunan angka kematian ibu dan bayi sangat ditentukan puskesmas yang memberi layanan kesehatan dasar dan rumah sakit sebagai pemberi layanan rujukan,” kata dia.
Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemkes Slamet Riyadi Yuwono mengakui sulitnya mencapai target kematian ibu melahirkan tahun 2015. Meski persalinan dibantu tenaga kesehatan bertambah, angka kematian ibu tinggi.
Berdasarkan prevalensi, daerah-daerah di luar Jawa sangat tinggi. Namun, berdasarkan jumlah, kematian ibu melahirkan terbesar ada di provinsi berpenduduk besar. Upaya menekan angka kematian ibu sangat beragam, bergantung kondisi daerah.
Profesionalitas bidan juga dipertanyakan. Banyak sekolah bidan, tetapi kualitas lulusannya masih dipertanyakan. Sejumlah pengelola RS mengeluhkan banyaknya bidan yang suka merujuk proses persalinan ke RS dengan motif ekonomi.