Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asuransi Sudah Syariah dari "Sononya"

Kompas.com - 24/10/2011, 08:04 WIB

M Fajar Marta

KOMPAS.com — Safitri Retno (36), ibu rumah tangga di Depok, sudah seminggu ini kebingungan memilih asuransi jiwa untuk suaminya, apakah yang syariah atau konvensional. Ia bingung karena ada yang mengatakan asuransi syariah lebih afdal, apalagi untuk Muslim. Namun, ada pula yang berpendapat asuransi konvensional dan syariah sama saja. Lalu, mana yang benar?

Sebenarnya Safitri tidak perlu terlampau bingung jika ia memahami hakikat asuransi. Asuransi pada satu sisi bisa dipandang sebagai sejenis kegiatan sosial untuk meringankan beban finansial orang lain yang terkena musibah. Dalam kegiatan ini, para anggota yang tergabung dalam perkumpulan saling berbagi risiko dengan orang lain. Kemunculan asuransi dilatari kesadaran bahwa risiko, misalnya kematian, bersifat tidak pasti. Bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja.

Asuransi disebut kegiatan sosial karena ada unsur tolong-menolong. Dalam konsep awal, proses asuransi terjadi ketika sekelompok masyarakat bersepakat mengumpulkan sejumlah uang derma (tabarru) pada seseorang yang dianggap amanah, yang dalam perkembangannya disebut perusahaan asuransi. Jika dalam kelompok tersebut ada yang mengalami musibah, misalnya rumah terbakar atau kepala keluarganya sebagai pencari nafkah meninggal, si korban berhak ditolong dengan mendapatkan sejumlah uang yang telah dikumpulkan kelompok tersebut sesuai kesepakatan.

Bagi anggota kelompok yang kebetulan tidak pernah mengalami musibah selama berasuransi, tentu tidak lagi harus bertanya-tanya apa keuntungan bagi dirinya atau apakah uang premi yang tidak pernah diklaimnya itu bisa ditarik kembali. Yang bersangkutan tentu saja telah mendapatkan ketenangan hidup selama berasuransi dan juga ikhlas uang preminya telah dipakai untuk menolong orang lain. Yang bersangkutan tentu bisa berharap mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, pemegang polis yang tidak pernah mengajukan klaim sebenarnya tetap bisa mendapatkan imbal hasil finansial jika ternyata pengelolaan dana tabarru terjadi surplus. Surplus tersebut bisa dibagi-hasilkan (mudharabah) antara perusahaan asuransi dan pemegang polis. Dalam konsep asuransi mutual, surplus pengelolaan dana asuransi biasanya dibagikan dalam bentuk dividen setiap tahun.

Jadi, sebagai sebuah kegiatan muamalah, asuransi sejatinya sudah bersifat syariah. Bisnis ini hanya didasari upaya mengantisipasi risiko dan tolong-menolong guna mencari ketenangan hidup. Dalam Al Quran, banyak ditemukan ayat-ayat yang mewajibkan manusia untuk hidup tolong-menolong antarsesama dalam mencari ketenangan hidup.

Sekali lagi, prinsip asuransi, sepanjang sifatnya untuk proteksi, sampai kapan pun akan bersifat syariah.

Presiden Direktur MNC Life Patricia Rolla Bawata mengatakan, label syariah pada asuransi yang murni menawarkan proteksi hanyalah sebuah penegasan. ”Konsep asuransi sudah syariah dari sananya,” kata Rolla.

Menurut Rolla, syariah dan nonsyariah pada industri asuransi baru menemukan relevansinya ketika unit link atau asuransi yang dikaitkan dengan investasi mulai marak di Indonesia sejak awal 2000-an. Yang jadi persoalan adalah urusan investasinya, bukan proteksinya. Itu terjadi karena dalam hal berinvestasi banyak hal yang harus diperhatikan agar prinsip syariahnya terjaga.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com