Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapolda: Sekolah Harus Tanggung Jawab

Kompas.com - 30/10/2011, 11:53 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung Suharsono Radjab meminta pihak sekolah untuk tidak melakukan pembiaran terhadap aksi bullying disertai kekerasan yang terjadi di kalangan para siswanya. Hal ini menyusul laporan sejumlah orangtua siswa yang mengadu ke Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) soal bullying di SMA Negeri 70 Jakarta.

"Sekolah jelas harus bertanggung jawab dan jangan sampai melakukan pembiaran. Di ilmu pendidikan apakah masih boleh tempeleng siswa?" ungkap Untung, Minggu (30/10/2011) di Jakarta. Ia menjelaskan, dugaan kekerasan di SMA 70 kini masih ditangani di Polres Metro Jakarta Selatan.

Namun, Untung menuturkan, jika terjadi kekerasan di sekolah yang harus bergerak terlebih dulu adalah pranata sosial seperti sekolah. "Kalau ada kekeraan, kita ini ada pranata sosial. Misalnya, ada tetangga berantem apakah harus selalu dipidanakan, kan ada RT RW yang bisa menyelesaikan. Demikian juga dengan sekolahan," ucap Untung.

Sementara polisi, kata Untung, akan melihat dulu apakah ada tindak pidana dalam aksi bullying itu. "Kalau misalnya ada, apakah delik aduan atau bukan," imbuh mantan Kapolda Jawa Timur ini.

Sebelumnya, sejumlah orangtua siswa SMAN 70 Jakarta mengadukan kekhawatiran mereka kepada Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak di Pasar Rebo, Jakarta, Kamis (27/10/2011), terkait kekerasan yang terjadi di dalam dan di luar sekolah. Aduan ini dimaksudkan untuk mencari solusi memutus mata rantai kekerasan tersebut.

Dalam pertemuan itu, salah seorang alumni SMAN 70 angkatan 1986 yang tak mau disebut namanya mengungkapkan kegelisahannya. Menurut dia, saat ini kondisi di sekolah RSBI tersebut semakin memprihatinkan. Siswa SMAN 70 saat ini lebih senang mempertahankan citra baik sekolahnya melalui tawuran.

Orang tua murid lain, Ichwan, mengatakan orang tua sempat berusaha memutus mata rantai itu namun gagal. Pasalnya, tidak ada upaya yang serius dari setiap pihak yang berkepentingan termasuk sekolah untuk menghentikan tradisi itu.

Menurut Ichwan, tindak kekerasan yang melibatkan siswa SMAN 70 sudah sangat sistemik karena terus berulang dan terjadi pembiaran meski pihak sekolah telah mengetahuinya. Tindak kekerasan tersebut dinilainya tidak terjadi secara spontan, tetapi seperti ada yang telah merancangnya.

Hal itu terlihat dari beberapa kegiatan yang menjadi "ikon" sekolah tersebut, seperti "Bulungan Cup". Para siswa kelas tiga memanfaatkan adik kelasnya sebagai sumber dana untuk kegiatan tersebut. Menurut keterangan Ichwan, pernah dalam suatu waktu semua kelas diharuskan menyetor Rp 1 juta setiap minggu untuk menutupi keperluan event tersebut.

"Di SMAN 70 juga ada budaya yang tidak masuk akal, di mana para siswa kelas satu tidak dianggap sebagai manusia, kelas dua dianggap sebagai manusia, dan siswa kelas tiga dianggap sebagai dewa. Jika uang tidak terkumpul, maka para siswa yunior akan di-rejes (dihukum)," ujarnya.

Menanggapi keluhan orang tua itu, pihak sekolah menyatakan menyayangkan laporan orangtua ke Komnas Perlindungan Anak. Pihak sekolah beralasan, masalah itu adalah masalah internal yang bisa diselesaikan dengan baik-baik oleh semua pihak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com