Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orang-orang Bergigi Keropos dari Ijen

Kompas.com - 26/01/2012, 21:10 WIB

Sejak semula, pemerintah kolonial Belanda sebenarnya telah menyadari air asam ini saat membangun Dam Banyuputih pada 1911. Mereka menggunakan air Banyuputih hanya untuk mengairi tanaman tebu yang tahan air asam. Dam itu bisa mengairi lahan seluas 3.590 hektar.

Namun, sejak Indonesia merdeka, perkebunan itu perlahan berubah menjadi sawah. Warga juga mulai tinggal di sana, salah satunya keluarga Tini, generasi kedua yang tinggal di tempat itu. ”Sapi saja hanya mau mandi di sini, tidak mau meminum air ini, tetapi warga dulu selama bertahun-tahun memakainya untuk minum,” ujar Sri.

Terpaksa

Setelah kematian massal padi tahun 1997, warga akhirnya menyadari bahaya Banyuputih. Sejak itu, sebagian warga membuat sumur gali. Namun, hanya sedikit orang yang mampu membuat sumur. Jangankan sumur, sebagian besar warga tak memiliki jamban. Sebanyak 45 persen atau 830 keluarga di desa itu merupakan buruh tani yang miskin.

Termasuk keluarga Tini yang membayar Rp 10.000 per bulan kepada Sapto, tetangganya yang memiliki sumur. Uang itu untuk jatah dua ember air sehari. ”Untuk sikat gigi, mandi, cuci piring, cuci sayur, terpaksa masih pakai air sungai,” kata Tini.

Namun, air sumur pun sebenarnya tercemar. ”Tahun 2000-an kami mengambil 55 sampel air sumur warga dan hasilnya kebanyakan terkontaminasi air asam,” ujar Sri.

Pengujian yang dilakukan Puskesmas Asembagus di sumur warga pada Maret 2011 juga menunjukkan tingginya kadar fosfor. Surahman, petugas sanitasi dari Puskesmas Asembagus, mengatakan, kandungan fosfor dalam air sumur warga di sekitar Sungai Banyuputih mencapai 1.680 part per million (ppm). Jumlah itu melebihi ambang batas aman 1.500 ppm. Bahkan, pada Juni, ditemukan sumur warga mengandung fosfor 1.930 ppm.

Tingginya kadar fosfor ini, menurut dokter Widyarto yang bertugas di Puskesmas Asembagus, berpotensi menimbulkan penyakit ginjal. Gejala gangguan ginjal ini sudah banyak dikeluhkan warga. ”Sakit pinggang dan kencing tak lancar merupakan keluhan umum yang kami temui,” katanya.

Namun, Widyarto tak memiliki data rinci. ”Masih butuh pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. Apalagi, kebanyakan warga yang mengeluh gangguan ginjal itu tak berobat lebih lanjut.

Bagi Kepala Desa Bantal Sahija, ancaman itu sudah nyata. ”Pintu besi di Dam Banyuputih saja gampang keropos dan harus diganti setiap dua tahun,” katanya. ”Tak terbayangkan bahaya yang dialami warga jika terus memakai air ini.”

Namun, Sahija tak bisa menghentikan warga untuk menggunakan air yang tercemar itu. Warga tak memiliki pilihan.

Menurut Sri, desa di pinggir Sungai Banyuputih itu sebenarnya tidak layak huni lagi. ”Produksi air asam akan terus terjadi selama air danau Kawah Ijen tetap ada dan menjadi petaka,” katanya.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengatakan, pada 2006, pihaknya sudah menyampaikan soal pencemaran dari Kawah Ijen kepada pemerintah daerah, kemudian juga ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana. ”Namun, belum ada tindakan,” katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com