Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah di Antara Beban Ekonomi

Kompas.com - 18/05/2012, 09:03 WIB

Rini Kustiasih

Kalangan pragmatis sering kali menganggap pendidikan sebagai jalan mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Bagi warga miskin, pemenuhan kebutuhan utama adalah makan, pakaian, dan rumah.

Pendidikan kemudian terseret menjadi ”cara instan” meraih hidup sejahtera. Ketika harapan tak kunjung terpenuhi, buat apa sekolah?

Tali-temali antara pendidikan dan kesejahteraan itu membuat Robi Rionaldo (14), siswa putus sekolah dari Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, tak meneruskan sekolah.

”Ana si Asep, Odah, Olik. Akeh kang blih sekolah neng kene (ada Asep, Odah, Olik. Banyak anak yang tak sekolah di sini),” kata Tureni (39), ibunda Robi, menyebutkan sejumlah nama anak di kampung yang tak melanjutkan sekolah.

Robi yang mengenakan peci putih dan kaus warna coklat lusuh cuma tersenyum kecil. Ia malu saat sang ibu menceritakan kemalasan dirinya bersekolah. ”Sudah saya masukkan ke SMP terbuka. Dia tetap aja enggak mau sekolah. Alasannya, si Iyo (panggilan akrab Robi) ini otaknya enggak mampu menerima pelajaran,” ujar Tureni di rumahnya, Rabu (2/5).

Faktor ekonomi

Rumah berdinding bata tak berlapis semen dan berlantai tanah itu agaknya bercerita lebih banyak soal Robi yang tak mau sekolah. Alasan kemiskinan lebih dominan membuat dia tak melanjutkan sekolah.

Tureni bercerita lagi, ”Dia (Robi) pernah kerja di kolam pemancingan. Diberi upah berapa pun dari pemilik kolam selalu diberikan kepada saya. Saya senang sekali.”

Dari ungkapan Tureni, teranglah kontradiksi tersebut. Di satu sisi, dia menginginkan anaknya sekolah. Namun, di sisi lain, dia tidak bisa menampik kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa ditanggungnya sendiri. Saat menerima pemberian upah dari Iyo yang bekerja di kolam pemancingan, ibu empat anak itu merasa bebannya lebih ringan.

Kakak Robi, Meilinda (17), bersekolah di SMK Bina Ihsan (sekitar 300 meter dari rumah mereka). Tureni kewalahan membiayai sekolah anak sulungnya itu. Sekitar Rp 85.000 untuk iuran sekolah. Untuk praktik kerja lapangan Rp 450.000.

Suami Tureni yang bekerja sebagai buruh bangunan mendapatkan upah Rp 40.000 per hari. Namun, dia sering menganggur karena tak ada pekerjaan. Tureni kadang kala diminta mencucikan baju tetangga dengan imbalan Rp 25.000 per hari.

Robi kini menumpang di rumah Ujang Zakaria, guru mengaji yang memiliki pondok untuk menampung siswa-siswi putus sekolah dan yatim piatu. Di sana, Robi membantu membersihkan kolam dan memberi makan lele.

”Saya sudah berkali-kali menyuruh Robi kembali sekolah. Namun, dia tetap bandel tak mau sekolah,” kata Ujang yang berjanji membiayai sekolah Robi seandainya anak itu mau sekolah.

Robi mengaku sulit belajar. ”Saya susah belajar Matematika dan Bahasa Inggris,” katanya. ”Lebih enak bekerja dan belajar di pondok membantu Pak Ustaz,” katanya.

Faktor sosial-ekonomi dan minimnya kesadaran keluarga akan pentingnya pendidikan agaknya membuat Robi berhenti sekolah. Namun, dia sulit menerangkan saat ditanya mengapa berhenti sekolah? ”Enggak apa-apa. Saya bekerja saja,” ujarnya singkat.

Kondisi serupa dialami Asep, teman Robi yang sudah berhenti sekolah sejak kelas IV SD. Ia ingin belajar mengaji di tempat Ustaz Ujang sambil bekerja. ”Kalau belajarnya di kelas pusing. Kalau di tempat Pak Ustaz bisa dapat makan dan uang jajan,” katanya.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, tahun 2010-2011 siswa putus sekolah di daerah itu meliputi 990 siswa SD, 631 siswa SMP, 188 siswa SMA, dan 274 siswa SMK.

Antropolog Universitas Padjadjaran, Bandung, Budi Rajab, mengatakan, pendidikan formal di Tanah Air tidak memberikan kepastian kesejahteraan dan perbaikan nasib kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

”Sekarang, kelompok kelas bawah hanya mampu bersekolah sampai SMA. Saat bekerja sebagai buruh di pabrik, upahnya tak jauh berbeda dengan lulusan SMP. Jadi, kenapa harus sekolah sampai SMA?” ungkapnya.

Lalu, untuk apa sekolah? Di sisi lain, banyak lulusan perguruan tinggi menganggur. Fenomena ini menjadi antitesis konsep pendidikan sebagai cara memperbaiki nasib dan kesejahteraan.

Ini juga menunjukkan pemahaman kurang pas soal pendidikan. Apakah pendidikan itu diorientasikan untuk mencari kerja? Bukankah pendidikan mencerahkan pemikiran, tidak semata-mata untuk mencari kerja?

Persoalan putus sekolah kian kompleks. Ini tak cukup dengan memperbanyak sekolah gratis dan mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen. Apalagi, dinas pendidikan setempat abai dengan angka putus sekolah. Dinas Pendidikan Kota Cirebon, misalnya, tidak memiliki data anak putus sekolah. Ironis!

”Pendidikan kita harus diperbaiki total dan dikembalikan pada filosofi, yakni untuk mencerahkan akal budi manusia, menjadikannya manusia yang manusiawi, bukan pemburu pekerjaan,” ungkap Budi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com