Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/07/2012, 08:17 WIB

KOMPAS.com - Angin pantai Batam membelai rambut Sierra saat ia melantunkan lagu At Last. Suaranya lembut. Begini, ”At last, my love has come along/ My lonely days are over/ And life is like a song...”.

At Last, lagu jazz standar yang dipopulerkan Etta James itu dibawakan Sierra Soetedjo di pentas ASEAN Jazz Festival di Batam pada 22 Juni lalu. Sierra tampil bersama Dwiki Darmawan dan kawan-kawan.

Ya, Sierra Soetedjo merasa telah menemukan cinta di dalam jazz. Ia bernyanyi di panggung di tengah kampung, di kafe-kafe, hingga di ajang festival. Sierra yang beberapa kali tampil di Java Jazz itu kini tengah menyiapkan album kedua.

Album pertamanya, Only One, diluncurkan pada awal 2011.

Kami pekan lalu bertemu Sierra di Bluegrass, bar dan resto di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia bergabung dengan kawan-kawannya membuka usaha bar dan resto yang antara lain menghidangkan Texas Beef Ribs dan Crazy Rice alias Nasi Gila sebagai menunya.

Sierra lalu bicara tentang perkenalannya dengan jazz. Ia baru berkenalan dengan jazz ketika berpindah mukim ke Perth, Australia, tahun 1998. Dan dari sana pula ia bertekad menapaki jalan masa depan sebagai penyanyi, khususnya di genre jazz. Padahal, ketika itu ia belum punya bayangan tentang jazz dan dunia musik jazz di Tanah Airnya, Indonesia.

”Saya dulu enggak kenal jazz. Image jazz itu dulu bagi saya musik buat orangtua. Oldies gitu, ha-ha,” kata gadis bertubuh ramping yang menggemari blus tanpa lengan ini.

Selera Sierra pada awalnya adalah musik pop R & B. Alicia Keys, Beyonce, Mariah Carey, dan Christina Aguilera adalah pujaan masa remajanya. Kini ia akrab dengan legenda jazz, seperti Ella Fitzgerald, Sarah Vaughan, dan Billie Holiday.

Sierra bersama Ibunya, Sylvia Gunawan, dan adik perempuannya pindah ke Australia setelah kerusuhan 1998. Di sana, ia merampungkan sekolah menengah, lalu mengambil kuliah administrasi bisnis. ”Kan, kebanyakan orang Indonesia yang kuliah di Australia ambil jurusan bisnis, jadi saya waktu itu ikut-ikutan saja.”

Di bangku kuliah bisnis, Sierra justru menyadari, ia tidak bisa membayangkan masa depannya duduk di belakang meja mengelola bisnis. ”Saya pengin kerja yang lebih fleksibel, bisa mengekspresikan diri. Di musik, kan, bisa seperti itu.”

Menyanyi dan naik panggung memang bukan kegemaran baru bagi Sierra. Ia mengumpulkan piala dan aneka penghargaan karena pentas menari dan jadi peragawati cilik di masa kanak-kanak. Ia bergabung ke paduan suara dan aktif di pentas musikal sekolah menengah di Perth. Sierra antara lain bermain dalam musikal Wizard of Oz sebagai tokoh Good Witch, penyihir baik hati yang menolong tokoh Dorothy itu.

Sambil kuliah bisnis, ia menyempatkan mengikuti audisi untuk masuk sekolah musik yang dibuka setiap semester. Akhirnya si sulung dari dua bersaudara ini pun pindah ke sekolah musik, meninggalkan kuliah bisnis yang sudah dua tahun ia jalani. Pada dua tahun terakhir studi musiknya, barulah ia menetapkan hati untuk berkarier di musik.

Hidup seperti piano
Di bangku kuliah, Sierra berkenalan dengan spektrum musik yang luas. Dari klasik hingga pop. Ia juga belajar sejarah musik hingga praktik menyusun komposisi untuk big band. Mata kuliah favoritnya adalah penampilan vokal. Ia mengambil diploma di bidang musik kontemporer dan mendalami musik jazz untuk merampungkan program sarjana. ”Di situ saya belajar bahwa jazz itu bebas.”

Lewat seorang teman, Sierra berkenalan dengan penyanyi Tompi. Selesai studi dan pulang ke Tanah Air, ia pun berduet menyanyikan Love Letter dalam album Tompi, My Happy Life. Dari Tompi, Sierra mengenal musisi Idang Rasjidi yang mengajaknya tur keliling Jawa. Sejak itu, ia rajin tampil di berbagai festival dan menimba pengalaman lewat kolaborasi dengan musisi-musisi kawakan, seperti Bubi Chen dan Ireng Maulana. Juga dengan Dwiki Dharmawan dan Addie MS.

Sierra juga mengasah diri dengan tampil di kafe hotel bintang lima Jakarta setiap pekan, pada 2008-2009. ”Untuk ngumpulin jam terbang, mengasah penampilan di panggung. Itu penting buat aku.”

Bernyanyi di atas panggung, seperti ia pelajari dari jazz, adalah berkomunikasi, berinteraksi dengan musisi dan audiens. Suasana yang berbeda membuat lagu yang sama bisa ia bawakan dengan cara yang berbeda. Sehari-hari pembawaan Sierra yang terkesan kalem akan terlihat berenergi saat ia bernyanyi di panggung. ”Rasanya aku mengalami energi yang berbeda-beda di setiap panggung.”

Seperti kata lagu, benarkah hidup itu seperti lagu? ”Mmm.. aku punya kutipan yang mungkin bisa menjawab itu,” kata Sierra.

”Hidup itu seperti piano. Bilah-bilah putih mencerminkan kebahagiaan, bilah hitam mewakili kesedihan. Tetapi, begitu kita berjalan mengarungi kehidupan, bilah-bilah hitam itu turut juga dalam mewujudkan musik....”

Mengenang Bubi Chen
Sierra kembali ke Tanah Air di tahun 2008, setelah 10 tahun tinggal di Australia. Waktu itu ia belum tahu kehidupan jazz Indonesia. Sierra pun menapaki karier dari dengan menjadi penyanyi di acara-acara hotel.

Suatu kali ketika tampil bersama Sandy Winarta, Donny Soendjoyo, dan kawan-kawan di Semarang, pianis jazz Bubi Chen melihatnya. ”Om Bubi ternyata menonton saya. Lalu, Om Bubi dan saya nge-jam. Padahal, saya enggak menyiapkan lagu untuk momen seperti itu,” tutur Sierra yang bersama Bubi membawakan komposisi You’d Be So Nice to Come Home To karya Cole Porter.

Tak diduga, Bubi Chen yang menyukai penampilan Sierra mengajaknya tampil bersama setiap kali pentas. ”Waaa... nervous banget. Apalagi, dari cerita yang kudengar, Om Bubi sangat keras mendidik muridnya, sampai bisa bikin nangis,” katanya.

Namun, kesan itu keliru. Ternyata Bubi membebaskan Sierra untuk berekspresi dan memberikan pendapat, baik dalam latihan maupun di atas pentas.

”Kalau sudah di atas panggung, Om bilang ’you are the leader’. Saya harus tampil sesuai keinginan saya, seenak mungkin, dan Om akan menyesuaikan,” kata Sierra menirukan ucapan almarhum Bubi Chen.

Saat itu, sebenarnya seorang ”Guru Besar” jazz yang rendah hati seperti Bubi Chen itu tengah mengajak penyanyi muda mengenal jagat jazz yang mungkin tidak dipelajari Sierra di bangku kuliah.

Kedekatan Sierra dengan Bubi tak hanya untuk urusan tampil di atas panggung. ”Di luar panggung, kami juga dekat, termasuk keluarga saya. Om Bubi sering mengajak makan karena kami sama-sama suka kuliner,” tuturnya.

Sierra sangat kehilangan ketika legenda jazz tersebut meninggal, Februari 2012. ”Aku kaget banget dan nangis waktu ditelepon. Beliau sudah enggak ada. Meskipun baru kenal 1,5 tahun, kesan tentang Om Bubi sudah begitu dalam,” kata Sierra.

(Nur Hidayati/Yulia Sapthiani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com