Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/08/2012, 13:46 WIB
Halo Prof

Konsultasi kesehatan tanpa antre dokter

Temukan jawaban pertanyaanmu di Kompas.com

KOMPAS.com - Hari pertama bulan Ramadhan. Senja pun mulai tiba, dan aku hanya ingin pulang untuk mempersiapkan santapan berbuka puasa. Ramadhan tahun ini aku sendirian, nun jauh dari keluarga.

Perasaan dan pikiran melankolis-ku sirna ditelan udara ketika seorang wanita tergesa-gesa masuk ke ruanganku. Dia meletakan seorang bayi yang terbungkus chitenje di atas tempat tidur, lalu duduk berlutut di lantai. Orang Malawi terbiasa melakukan ini sebagai tanda penghormatan mereka – tapi aku tidak suka dengan kebiasaan tersebut.  Aku mempersilahkan dia duduk di sebuah kursi.

Dia berhenti menyusui dan susah bernapas sejak tiga hari yang lalu,”  wanita tersebut mencoba menjelaskan dengan nada ketakutan.

Aku tidak menghiraukannya. Perhatianku bertumpu pada sang bayi yang terbaring di seberang meja sana. Bergerak aku menghampiri dan meneliti kondisi seonggok tubuh kecil yang terbaring di meja pemeriksaan dengan stetoskopku.

Aku melepaskan untaian chitenje yang membalut tubuhnya, dan menemukan seorang bayi mungil. Sebegitu mungilnya, aku bahkan bisa mengenggam kedua bahunya hanya dengan satu tangan. “Berapa usianya?” aku bertanya sambil terus menatap sang bayi yang sekarang berada di depanku. “Usianya tiga minggu, dokter” jawab sang ibu. Aku masih mendengar nada ketakutan dalam suaranya.

Sambil meletakan tanganku dan menghitung detak napasnya, aku mengamati dada sang bayi naik turun. “83 per menit – bukan pertanda baik!” Aku bergumam pada diri sendiri. Tak lama kemudian, termometer yang aku letakan di tubuh sang bayi pun berbunyi menunjukan angka 39 derajat Celsius pada layarnya -  satu lagi pertanda buruk!  Sekali lagi aku menatap wajah sang bayi, bibirnya sangat kering dan matanya tertutup. Seandainya dadanya tidak sedang naik-turun, aku pasti akan percaya bahwa ia telah meninggal.

Tanpa menunggu instruksiku, secepat kilat Andy mempersiapkan peralatan infus serta  menggantungkan sebotol cairan infus. Andy sangat berpengalaman, aku bersyukur mendapatkannya sebagai staf penerjemahku. Aku meletakan oksimeter di tangan sang bayi dan alat ini mulai berbunyi menunjukan angka yang sangat rendah.

Menyadari tidak memiliki banyak waktu, aku terburu-buru menyobek kemasan kanul 24G – kanul terkecil yang kami miliki. Aku berusaha menemukan pembuluh darah demi memasukan kanul, namun usahaku selalu sia-sia. Tusukan jarum infus menembus daging belia sang bayi, darah mengucur keluar dari kulitnya. Aku merasakan tingkat stresku memuncak, hampir tak terbendung. Akupun menyerah!!

Aku menyentak membuka sebotol kecil antibiotik, menuangkannya ke dalam tabung suntik serta menyuntiknya di paha sang bayi. Aku tahu ini menyakitkan, namun sang bayi masih tetap tak bereaksi ataupun menangis. Ia terlalu lemah untuk menyadari dan merasakan jarum suntik menembus ototnya.

Akupun memanggil Gift, asisten medis, untuk membantuku. Dalam sekejap, kami berdua telah saling duduk berhadapan – sang bayi di tengah – berusaha memasukan jarum infus. Gift berjuang memasukannya ke dalam pembuluh darah di kepala, sedangkan aku berusaha melakukan hal yang sama di bagian kaki. Kami berdua bagaikan sedang mencari jarum dalam tumpukan jerami, sangat sulit dan hampir mustahil. Namun akhirnya Gift berhasil. Akupun menuangkan cairan infus, sembari berharap hal ini akan berhasil menolong sang bayi.

Aku menoleh menatap sang ibu yang masih duduk berlutut di pojok ruangan. Orang Malawi bisa berlutut dalam jangka waktu yang lama. Aku merasa marah dan sedih. Marah akan kelalaiannya. Aku sedih menyadari latar belakang pendidikannya yang tidak memampukan dia untuk lebih awal meyadari bahwa kondisi bayinya makin memburuk.  Aku tahu ini bukan sepenuhnya salah sang ibu...

Lagi-lagi peralatan medis berbunyi, kembali menunjukan angka buruk dilayarnya. Aku butuh mujizat...agar kondisinya membaik dan kembali normal, namun aku tahu hal itu tidak akan terjadi.

A mai, bayi anda butuh mendapatkan terapi oksigen...” dengan sopan aku memberitahukan sang ibu. Bagi orang Malawi, terapi oksigen adalah jalan terakhir, dimana tidak ada lagi harapan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, kami wajib menjelaskan dan mendapatkan persetujuan sebelum memberikan terapi oksigen bagi pasien. Aku telah bersiap-siap mendengar jawaban penolakan, dan terkejut ketika sang ibu perlahan-lahan mengangguk setuju...
...

Suara Adzan menyeruak dari telepon genggam-ku, mengingatkan aku saat  berbuka puasa telah tiba...

Seandainya aku di rumah saat ini, pasti aku tengah duduk manis bersama seluruh keluargaku di ruang makan kami yang dipenuhi dengan berbagai santapan seafood dan kue-kue lezat kesukaanku. Aku akan menikmati hidup tanpa beban, pekerjaan yang tidak begitu membuatku stres, serta menjaga jarak antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Namun aku disini....dengan hanya segelas air putih sebagai menu berbuka puasa, tak berdaya dengan rentang jarak 10 menit berjalan kaki antara pekerjaan dan kehidupan pribadiku, serta berbagai tantangan pekerjaan yang seakan tak pernah sirna...

Sejak awal aku tahu bahwa pekerjaan ini akan sangat menantang, serta tidak mudah untuk menjadi satu-satunya dokter di wilayah terpencil di Afrika. Dengan begitu banyak keterbatasan yang ada, aku sadar tak bisa menyelamatkan nyawa semua orang. Namun setelah dalam menimbang-nimbang,  aku cukup terhibur dengan secercah harapan bahwa setidaknya kehadiranku bisa membantu (masyarakat di sini). Akan tetapi, beban kekhawatiran kehilangan pasien yang tak bisa tertolong selalu menghantuiku.

Saya pikir anda bisa pulang sekarang dokter, saya akan mengabari anda seandainya ada perkembangan,” Gift dengan hangat menyarankan aku.

Akupun lantas mengisi dan menyelesaikan catatan medis sang bayi, serta dengan segaja tidak melihat nama bayi tersebut. Aku tak tega, dan berat untuk hidup dan harus mengingat satu lagi yang tak bisa aku selamatkan...

Tepat pukul 3:00 dini hari, aku mendadak terbangun. Bulan Ramadhan mewajibkan aku memulai hariku lebih awal. Setelah sembahyang, aku tak lagi bisa tidur. Pukul 7:00 pagi aku telah berada di bangsal perawatan mengunjungi para pasien sembari memberikan obat-obatan mereka. Aku telah berencana untuk tidak perlu ke ruangan observasi, berasumsi bahwa sang ibu dan bayinya semalam pasti telah tiada.

Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu yang berbeda. Sang ibu masih di sana sembari memangku bayinya. Dan kali ini sang bayi terlihat sedang menyusui ibunya. Aku mengedipkan mataku beberapa kali, memastikan ini bukan mimpi, dan pemandangan itu tetap sama...

Terkejut kagum aku berdiri di depan pintu, si ibu menatapku sambil tersenyum. Sang bayi, telah sadar sepenuhnya, terlihat sibuk menikmati ASI ibunya. Masih agak kesulitan bernapas, tapi ya,  ia masih hidup dan kelihatan membaik!

Aku berjalan mendekati mereka, otakku kembali memutar tayangan tubuh tak berdaya sang bayi: nadinya yang lemah, semua tusukan jarum infus di kulitnya, si ibu duduk berlutut di lantai serta keteganganku. Aku membelai sang bayi untuk memastikan bahwa ini nyata.  Dan mendadak, perasaanku campur aduk...
...
“Siapan namanya?”  suaraku bergetar ketika menanyakan sang ibu.
“Olive, namanya Olive, dokter...” jawab sang ibu.
...
Olive...
Kini aku takan pernah melupakan nama itu seumur hidupku...

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com