Kompas bertandang ke rumah Hendra Jatmika Pristiwa (37) di Kelurahan Cipaganti, kampung padat di Kota Bandung, Jawa Barat. Di loteng rumahnya, ia membangun studio kedap suara yang dilengkapi seperangkat alat musik serta perangkat komputer. Di studio itu, Hendra bisa duduk berjam-jam membuat aransemen musik, membuat jingle iklan, melakukan mixing atau meramu dan melaras hasil rekaman orang lain. Dari kamar itu, ia berkelana ke dunia maya, membuka blog pribadi bernama Hendra Pianoman. Dari komputernya ia menerima pesanan membuat aransemen dari artis luar negeri.
Hendra memang berprofesi sebagai musisi, penata musik,
Ia sering diundang ke beberapa kota untuk memberi pelatihan tentang teknologi rekaman. Ia bahkan beberapa kali datang ke Singapura dan Malaysia untuk memberi pelatihan serupa.
Dengan profesi itu, Hendra bisa menghidupi keluarga. Ia beristrikan Nenden Shintawati, penyandang tunanetra yang dikenal sebagai penyanyi jazz. Pasangan ini membuahkan seorang anak, Aura Yasinta Celesta (8).
”Saya ingin memberi alternatif profesi yang lebih bergengsi, yaitu bermusik dengan teknologi. Saya ingin menyebarkan ilmu
Ketika penyandang tunanetra sudah berusaha keras untuk berkarya mandiri, justru sebagian masyarakat yang bermata awas sulit menerima tunanetra dan melakukan diskriminasi.
”Sebagian besar masyarakat hanya melihat tunanetra yang kurang berhasil, seperti yang mengemis dan mengamen di jalan-jalan. Padahal, ada tunanetra yang berhasil dan berkarya bagi masyarakat di balik tembok-tembok gedung,” ujar Didi.
Pada akhirnya, penyandang tunanetra sendirilah yang harus gigih memberdayakan diri, tanpa berkoar-koar mengeluh. Mereka membentuk yayasan atau lembaga swadaya untuk memberdayakan diri. Setia, misalnya, mendirikan Dria Manunggal pada 1991. Dria Manunggal mendapat penghargaan dari United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) pada 2000 dalam hal pengembangan sumber daya manusia.
Setia yang gemar