“Ya, tapi sudah harus mulai belajar, Pak.”
“Tidak perlu. Tidak usah. Biar anak-anak main saja. Saya tidak keberatan kalau rapor anak saya jelek.”
Waktu itu sudah ada orang tua yang memberi anaknya les tambahan, agar anaknya bisa membaca. Gila!
Setiap semester guru anak saya selalu mengulang hal yang sama. Saya tidak pedulikan. Mereka khawatir soal anak saya saat masuk SD. Kenyataannya biasa saja. Dalam waktu singkat dia bisa belajar membaca.
Anak ketiga saya masuk TK yang sama, karena tidak ada lagi pilihan lain. Cerita yang sama berulang.
Saya kembali tegaskan, anak saya tidak perlu terlalu serius belajar membaca. Dia tidak bisa juga saya tidak anggap masalah. Dia juga masuk SD. Kebetulan waktu masuk SD juga tidak ada syarat harus bisa membaca.
Bagaimana kalau SD menetapkan syarat itu? Jangan masukkan anak ke sekolah itu. Itu sekolah sesat. Anak Anda akan dididik secara salah di situ. Carlah sekolah lain.
Apakah tidak khawatir anak kita akan tertinggal kalau tidak bisa membaca? Banyak SD yang meski tidak menetapkan syarat bisa membaca untuk masuk, tapi kemudian ngebut dengan materi pelajaran, berbasis asumsi bahwa anak-anak sudah bisa membaca. Jadi, bagaimana?
Tertinggal apa, sih? Anak kita itu baru SD, kelas satu pula. Anak punya tahapan perkembangan yang unik. Ada yang cepat, ada yang lambat. Kenapa ia harus dipaksa mengikuti standar anak lain?
Banyak orang tua yang gila rapor. Anak-anak diukur dengan angka-angka di atas kertas tes dan rapor. Orang tua stres kalau nilai anaknya rendah. Lalu anak ditekan dengan berbagai jenis pelajaran dan les, sampai mereka stres juga.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.