Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Countercyclical-nya Kesehatan Itu Upaya Promotif dan Preventif

Kompas.com - 09/03/2018, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Pernah mendengar kisah si jangkrik yang senang bernyanyi dan semut yang rajin mengumpulkan makanan di musim semi? Saya langsung teringat cerita masa kecil saat menteri keuangan menyebut istilah countercyclical.

Jangkrik yang hedonis menikmati musim semi menertawakan semut yang kerjanya dianggap terlalu lebay mengurus cadangan sementara keriaan terlewat begitu saja.

Jika menteri keuangan menganggap jabatannya tidak pernah nampak favorit, saya bisa maklum.

Di tengah uang melimpah daya beli tinggi, ini kok malah dirjennya mengejar-ngejar orang untuk bayar pajak. Seakan-akan ‘enggak bisa lihat orang senang’.

Tidak banyak orang memahami bahwa tabungan negara, pendapatan pajak, justru bisa menjadi upaya yang disebut sebagai ‘countercyclical’ – yaitu kondisi saat perekonomian jatuh, daya beli lemah dan ekonomi sedang muram. Bagian dari roda kehidupan, yang tidak selamanya berada di atas.

[Baca juga : Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi]

Di area kesehatan, berlaku hukum yang sama. Ketika badan sedang ‘enak-enaknya di bawa kemana pun’, saat kebugaran tubuh sedang prima, justru itu momen yang tepat untuk ‘menabung’ daya tahan – apabila suatu hari roda kehidupan membuat kita terserang penyakit atau minimal sedang apes terkena musibah.

Tapi yang umum terlihat, malah wajah-wajah bugar sumringah eksis di Instagram seputar aneka makanan yang seratus tahun lalu saja tidak ada.

Para artis yang menikmati masa mudanya pun, semakin berlomba menyodorkan kekinian pangan yang tak jelas kaprahnya.

Tak cukup acak adul dengan panganan, irama hidup yang tak menentu pun dianggap normalitas yang baru.

Seakan memang begitulah mestinya upaya mencari segenggam berlian – karena sesuap nasi tidak lagi nampak keren.

Apalagi nasi sudah dianggap musuh bagi sebagian pelaku diet, tanpa menyebutkan sebab musababnya.

Kehidupan yang sudah terlanjur seperti ini, membuat orang seperti saya pusing tujuh keliling untuk mulai menjelaskan saat tubuh anak-anak muda ini mulai digerogoti masalah.

Yang istilahnya pun dibuat kedengaran ‘keren’ – agar tidak dianggap penyakit ‘mainstream’. Mulai dari Gastro Esophageal Reflux Disease hingga macam-macam penyakit ‘autoimun’.

[Baca juga : Mengapa Banyak Orang Sangat Suka Bakso?]

Terbayang betapa susahnya rakyat negri ini, dibuat untuk tetap prihatin dan mawas diri ditengah kelimpahan berkah. Ibarat mengawinkan perilaku semut ke diri si jangkrik.

Menjaga kesehatan di saat bugar dianggap suatu keanehan. Lebih celakanya lagi, jika tubuh sakit akibat foya-foya lalu pemerintah yang disuruh menanggung.

Seperti musim dingin tiba, jangkrik mengigil tanpa cadangan makanan dan ia merasa berhak merampas tabungan si semut.

Upaya promotif preventif atau membayar pajak dan menabung, tidak pernah jadi ikon favorit. Malah dianggap menyusahkan dan merusak suasana. Bahkan sebagian besar orang cenderung menghindarinya, lari dari kewajiban.

Begitu banyak usaha telah dikerahkan untuk mengubah paradigma dari ‘spending to saving’, dari mengobati menjadi mencegah.

Lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Kok bisa? Ini semua akibat ‘gagal paham’ – begitu istilah zaman sekarang.

[Baca juga : Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi]

Selama publik belum memahami ‘mengapa’ orang perlu bayar pajak, ‘mengapa’ perlu mencegah penyakit sebelum datang, maka mustahil gembar-gembor program bisa berjalan. Alih-alih dikerjakan, publik jaman yang rentan hoax, malah menyimpan tuduhan dan sangkaan.

Genjotan bayar pajak dikira karena negara bangkrut. Diajak hidup sehat mencegah penyakit mengandaikan vaksinasi adalah teori konspirasi.

Dihimbau ikut KB membina keluarga kecil tapi sejahtera menimbulkan kecurigaan melawan kodrat alam dan hukum (lagi-lagi) agama.

[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis]

Sementara itu, negri ini tak kurang jumlahnya orang-orang pandai. Sayangnya, yang pandai-pandai ini berakhir tragis – entah akibat harus berjuang memenuhi kebutuhan hidup hingga akhirnya terjerat komersialisasi, atau kepandaiannya jadi tenggelam karena idealisme yang dianggap melawan arus.

Kedua kutub ekstrim ini membuat para cendekia tidak lagi bersuara secara baik dan benar. Baik dalam pengertian sesuai kaidah etik dan norma, benar dalam pandangan ilmu yang bebas kepentingan.

Akibatnya, di tengah kegaduhan politik dan ekonomi, publik semakin bingung dan galau, semakin tidak jelas pendapat siapa yang bisa dijadikan pegangan.

Jika situasi sudah makin panas dan chaotic, maka muncul sekelompok orang-orang oportunistik yang akan meramaikan situasi.

[Baca juga : Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Di saat ekonomi sedang lesu dan perputaran uang melambat, ada yang menawarkan arisan dengan benefit selangit.

Di saat tubuh berantakan penyakit mendera, ada yang menyodorkan ramuan sapu jagad. Prinsipnya, instan sembuh kontan, peluang lekas beruang.

Tipikal generasi saat ini, yang istilah saya: senang memasak dengan api besar. Cepat gosong di luar, dalamnya tetap mentah.

Mengerikan sekali kerapuhan hidup seperti itu. Padahal alam ini, jagad raya, bumi dan semua isinya tidak dibangun dengan paradigma begitu oleh yang Empunya jagad. Kebablasan cara pandang post modern yang dibangun atas idea virtual telah melibas realitas.

Budaya, sebutlah budaya menabung dan menjaga kesehatan – tidak bisa lagi dijadikan cermin ‘realitas’.

Realitas di masa sekarang telah digambarkan oleh iklan, manipulasi photoshop, video game dan pencitraan digital.

Tampilan iklan tidak lagi soal kualitas nyata tentang produk, melainkan justru kepalsuan tentang produk itu.

Entah kapan kedalaman berpikir dan menilai kebaikan serta kebenaran untuk menata hidup bisa dimiliki bangsa kita dan generasi yang akan menggantikan kita suatu hari nanti.

Yang pasti, jika countercyclical itu dalam pelbagai versinya tidak dijalankan, bangsa besar seperti apa pun suatu hari hanyalah tinggal nama dalam sejarah.

[Baca juga : Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com