"MAINAN adek ke mana?" Lalu seisi rumah heboh mencari mainan itu. "Adek enggak mau makan!" Lalu ada saja yang berusaha menyuapinya.
"Adek numpahin minum, kepeleset!" Ubin yang kemudian dimarahi lalu semua orang berebut mengepel bekas tumpahan.
Situasi itu terasa akrab?
Bila iya, orangtua harus hati-hati. Terlebih lagi kalau "si adek" adalah anak laki-laki.
Rasa tanggung jawab anak dimulai sejak dini. Kita sepakat bahwa hukuman bukanlah solusi untuk permasalahan perilaku anak. Namun, konsekuensi natural atau logis wajib ada dan bahkan wajib ditanamkan.
Ada apa dengan anak laki-laki?
Mengapa "kehati-hatian" ditekankan kepada anak laki-laki? Ini soal rasa tanggung jawab.
Hasil Jajak pendapat Kompas untuk Grafikota, misalnya, mendapati penyebab perceraian nomor dua di DKI Jakarta ternyata adalah kepala rumah tangga tidak bertanggung jawab kepada keluarga. Hal ini selalu muncul dan disebut-sebut di hampir setiap kasus talak-cerai.
Angka perceraian di Ibu kota tergolong tinggi. Provinsi DKI Jakarta konsisten menduduki peringkat kelima dalam daftar angka perceraian nasional. Rata-rata per tahun sekitar 3 persen perceraian seluruh Indonesia berasal dari Jakarta.
Perilaku tidak bertanggung jawab jelas erat kaitannya dengan kebiasaan menerima konsekuensi natural, bukan? Entah itu konsekuensi dari perbuatannya atau konsekuensi dari pilihannya.
Konsekuensi adalah elemen penting dalam kehidupan setiap manusia yang menjadikannya mengenal rasa tanggung jawab dan memahami bahwa kita tidak bisa hidup dengan bergantung pada manusia lain, terus menerus.
Karena itu, hal yang terpenting dari membesarkan anak adalah membimbingnya menjadi manusia yang interdependen.
Apa itu interdependen?
Sebelumnya, mari kita tanyakan dulu kepada diri sendiri, sebetulnya karakter seperti apa yang paling kita inginkan dari anak?
Benarkah kita ingin memiliki anak yang sangat mandiri sehingga mampu melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain sama sekali?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.