Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/01/2019, 11:02 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kelompok minoritas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menganggap diskriminasi yang mereka terima bukan hanya di dunia nyata, tapi juga diperburuk oleh pemberitaan media.

Akibat yang harus ditanggung kelompok LGBT antara lain diusir oleh keluarga, sulit mencari kerja, atau pun tempat tinggal.

"Pemberitaan di media selain memberi framing, seperti mengejar klik, tidak pernah tahu dampaknya terhadap kami karena pemberitaan yang bias, sering copy paste dan tanpa memilih narasumber yang sesuai," kata Khanza Vina, aktivis transgender.

Vina, demikian ia biasanya disapa, hanya sebagian kelompok LGBT yang merasa kecewa dengan pemberitaan media massa yang diskriminatif dan kerap bias terhadap kelompok LGBT.

Tak sedikit yang akhirnya menutup diri dan enggan berbicara pada media karena merasa pemberitaan yang ada lebih sering bias dan belum proporsional.

Menurut Vina, media seharusnya bisa melihat lebih jauh dampak dari pemberitaan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.

"Kalau benci pada kami silakan, tapi jangan ada pemberitaan yang mengajak orang untuk melegalkan tindakan persekusi terhadap kami," tuturnya.

Baca juga: Warga Pekanbaru Geruduk Sebuah Sekretariat yang Diduga Tempat LGBT

Hal senada diungkapkan oleh Riska Carolina, Kepala Divisi Advokasi Arus Pelangi. Penolakan dari lingkungan seolah menjadi permasalahan umum yang dihadapi kelompok LGBT.

Riska menyebutkan, ada 45 Peraturan Daerah yang ditujukan kepada kelompok LGBT. Beberapa Perda yang paling baru disahkan di antaranya oleh Perda Cianjur, Karawang, Bangka Belitung, Padang, dan Depok.

“Sebanyak 22 di antaranya jelas menyebutkan antara lesbian, homo, TG, waria, gay, macam-macam,” ucap Riska dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1/2019).

Dari sekian banyak Perda yang ada, menurutnya peran framing pemberitaan media cukup besar.

“Entah framing media yang semakin memperkuat pemerintah untuk mengeluarkan surat edaran, atau surat edaran memang dipolitisasi pemerintah kemudian dibantu oleh media maka semakin jadi. Karena kalau kita lihat, LGBT memang musuh sama-sama. Mau pihak A atau pun B, politik A atau politik B. tidak ada yang setuju,” tambahnya.

Deputi Manajer Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra menyinggung salah satu survei Saiful Mudjani Reseach & Consulting (SMRC) yang menyebutkan, sekitar 87 persen masyarakat menganggap kelompok LGBT sebagai ancaman.

Angka tersebut menurutnya menjadi mengerikan ketika dikonversi menjadi kepentingan politik.

Daniel mencontohkan, ketika ada hak-hak kelompok LGBT yang dilanggar atau ketika mereka dipersekusi. Kelompok politik yang membela malah berisiko kehilangan banyak suara.

“Jadi kalau mau membela LGBT malah kalah. Akhirnya mereka mengeluarkan jurus-jurus populis saja yang digemari masyarakat secara umum diskriminatif atau intoleran,” kata Daniel.

Baca juga: Pemerintah Hapus Frasa yang Mendiskriminasi LGBT dalam RKUHP

Focus Group Discussion mengenai isu keberagaman gender dan seksualitas, identitas gender dan ekspresi, dan karakteristik seksual (SOGIESC) oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1/2019).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Focus Group Discussion mengenai isu keberagaman gender dan seksualitas, identitas gender dan ekspresi, dan karakteristik seksual (SOGIESC) oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (26/1/2019).
Paling dibenci

Adapun Pengamat SMRC Saidiman Ahmad menyebut adanya hubungan kuat antara pemberitaan dan kebencian yang dimiliki masyarakat atas kelompok tertentu.

SMRC sendiri sudah sejak 1999 mengadakan survei intoleransi. Salah satu pertanyaan dalam survei menanyakan adakah kelompok yang paling dibenci oleh masyarakat.

Pertanyaan itu, kata Saidiman, muncul dari teori yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua orang punya pandangan negatif terhadap suatu kelompok.

Di atas 80 persen orang Indonesia memiliki kelompok yang dibenci tersebut. Konsekuensi dari membenci itulah yang menjadi persoalan.

Pada awal era reformasi Kelompok LGBT tidak ada di dalam daftar kelompok yang paling dibenci masyarakat. Salah satu kelompok yang saat itu paling dibenci adalah komunis.

Namun, kelompok LGBT mulai masuk ke dalam daftar setelah ramainya berita pembunuhan mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah atau lebih dikenal dengan nama Ryan Jombang beberapa tahun lalu. Kisah Ryan mendapat sorotan yang semakin besar karena dirinya merupakan pecinta sesama jenis.

“Jadi betul sekali media punya peran di sana. Tapi kalau media bisa punya peran membuat satu kelompok dibenci, media harusnya juga punya potensi untuk membuat satu kelompok itu disukai atau tidak,” tuturnya.

Baca juga: Hindari Politisasi Kelompok Minoritas, RKUHP Diminta Dibahas Setelah Pemilu 2019

Memahami istilah

Penggunaan istilah yang dianggap tidak tepat dan mengundang clickbait dalam pemberitaan seringkali membuat kelompok LGBT prihatin.

Riska Carolina mencontohkan, salah satunya adalah istilah “fenomena LGBT”.

“Itu bukan fenomena. Dari zaman kapan sudah ada. Namanya saja yang berubah-ubah,” kata Riska.

Istilah lain lagi, misalnya “kaum LGBT” yang menurutnya lebih nyaman jika diganti menjadi “kelompok LGBT”.

Sejumlah pemberitaan juga kerap membahas tentang bahaya LGBT. Riska pun mempertanyakan bahaya yang dimaksud dan menilai pemberitaan-pemberitaan seperti itu sangat tidak berimbang.

“Kan bisa pakai istilah “keberadaan” saja. Dari kami, kami tidak merasa berbahaya. Memangnya kami mengajak-ajak Anda? Kan tidak,” sambungnya.

Menurutnya, jika istilah tersebut digunakan oleh seorang pejabat publik atau figur publik lainnya, maka idealnya penulis berita juga meminta pendapat dari kelompok terkait sehingga pemberitaan berimbang.

Adapun Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus menyoroti pentingnya pertemuan yang lebih intens antara jaringan media massa dan kelompok LGBT atau minoritas agama.

Kelompok-kelompok yang menyuarakan nilai-nilai keberagaman menurutnya bisa juga menjadi jembatan pertemuan antara dua kelompok tersebut.

Dalam forum yang sama, beberapa perwakilan media menyebutkan bahwa kesalahan pemilihan istilah atau framing pemberitaan soal LGBT banyak pula didasari oleh ketidaktahuan penulis.

Selain menunggu pernyataan penjelasan dari pihak terkait, media menurutnya juga perlu meningkatkan kapasitas pengetahuan.

Para pimpinan media juga diharapkan bisa lebih memperhatikan isu ini dan mengambil kebijakan yang solutif.

“Ada persoalan struktural dari atas ke bawah. Leadership dari media sangat menentukan karena dia akan menurunkan visi dan misi sampai ke bawah,” kata Magda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com