Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 13 Januari 2020, 18:42 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

KOMPAS.com – Lingkungan pertemanan bisa berpengaruh besar pada kondisi emosi anak. Apalagi jika ia memiliki teman yang jadi racun, sering menyebabkan stres dan kecewa.
Perubahan mendadak pada kondisi psikologi mungkin menunjukkan indikasi toksik dalam pertemanannya.

Seorang anak pernah ditemukan menangis histeris di kamarnya, menarik diri dari keluarga, dan menolak mengatakan apa pun karena takut orangtuanya tak akan mengerti.

Namun, ketika anak itu diterima kembali oleh temannya yang toksik, ia kembali bahagia.
Hal ini terus terjadi secara berulang hingga anak tampaknya tidak bisa keluar dari pertemanan itu. Segala sesuatu dalam kehidupan anak berputar di sekitar menyenangkan dan memenuhi tuntutan dari teman yang toksik.

Seorang toxic friend memiliki sifat narsisme yang kuat, egois dan manipulatif. Mereka ahli dalam menciptakan citra publik yang positif di depan orangtua, guru, dan pelatih. Namun, di balik itu sifatnya sangatlah berbeda.

Mereka juga bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan anak lain sehingga ketika mereka dipercaya, teman yang racun ini mulai mengatakan dan melakukan hal-hal yang menyakitkan. Misalnya menjauhi temannya karena suatu peristiwa lalu mengunggahnya di media sosial untuk mempermalukan.

Contoh lain, secara tidak adil menuduh teman melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Hal ini sering disebut sebagai proyeksi, yaitu mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya tidak berbahaya. Namun, cara ini sering digunakan secara ekstrim oleh individu yang toksik.

Dua contoh ini sering digunakan untuk memprovokasi anak. Ketika ia bertanya mengapa ia dijauhi atau membela diri dari tuduhan yang tidak adil, teman yang toksik itu menggunakan dua cara untuk melawan.

Yang pertama, menuduh anak itu berlebihan atau gila. Atau membicarakan anak itu kepada teman-teman yang lain sehingga membentuk persepsi bahwa anak itu sebagai "orang jahat."

Baca juga: Yang Harus Dilakukan Orangtua Jika Adik dan Kakak Sering Berkelahi

Jika gejala dan pola ini sudah mulai terlihat, penting bagi orangtua untuk membantu anak yang jadi korban.

Menuntut anak menjauhi pertemanan itu tidak selalu efektif karena ia mungkin telah dimanipulasi oleh teman tersebut sehingga justru memihaknya.

Dari sudut pandang seorang anak, berteman dengan teman yang toksik tidak terlalu buruk daripada tidak memiliki teman.

Selain itu, sebagian besar individu yang memiliki hubungan beracun tidak dapat mengenali pola toksisitas ketika mereka terlibat dalam hubungan tersebut.

Ilustrasithinkstockphotos Ilustrasi

Mendekati orangtua dari anak yang toksik atau melibatkan pejabat sekolah juga dapat menjadi bumerang untuk diri sendiri.

Anak yang toksik memiliki kecenderungan narsis karena mereka memiliki hubungan yang kurang baik orangtuanya. Mereka juga kerap menyalahkan pihak lain, sehingga orangtua dari anak yang toksik ini akan beraksi secara drama dan ikut menyalahkan anak tersebut.

Erin Leonard, Ph.D., seorang psikoterapis yang fokus terhadap hubungan dan pengasuhan anak berpendapat, memanfaatkan pendekatan empatik dan bijaksana adalah cara yang paling efektif untuk orang tua dalam membantu anak yang memiliki teman toksik.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau