Mengacu pada laman EverydayFeminism, apropriasi budaya tidak sama dengan pertukaran kultur.
Apropriasi mengacu pada dinamika kekuatan tertentu di mana anggota budaya dominan mengambil elemen dari budaya orang-orang yang secara sistematis ditindas oleh kelompok tersebut.
Kuncinya soal kesetaraan ras dan budaya yang sayangnya belum benar-benar terwujud di dunia ini.
Baca juga: Koleksi PakaianKoe dari Lakon, Upaya Agar Tidak Lupa Budaya Bangsa
Deskripsi ini mengacu pada laporan sosiologi yang menyebutkan soal praktik ini pada 1990-an. Awalnya dilakukan kepada masyarakat adat di sejumlah daerah seperti Kanada, Australia dan Amerika Serikat.
Para penjajah mengadopsi budaya pribumi yang dianggap menarik dan mempopulerkannya tanpa menghargai pemilik budaya aslinya.
Intinya, kelompok yang lebih terpinggirkan tidak mendapatkan suara, sementara warisan budayanya disebarkan oleh seseorang dalam posisi hak istimewa yang lebih besar.
Tujuannya bisa untuk kesenangan, model, atau ketidakpedulian tentang pentingnya penghargaan budata asli itu.
Dikutip dari laman The Week, Dr Adrienne Keene dari Native Appropriations menegaskan pola perilaku ini. "Anda berpura-pura menjadi ras yang bukan Anda dan menggunakan stereotip untuk melakukannya."
Baca juga: Banyak Dikritik, Ukiran Kayu Raksasa Melania Trump Disebut Mirip Smurf
Mirip seperti kasus Nagita Slavina yang dipotret dengan busana daerah untuk menjadi Duta Pon XX Papua.
Padahal ada banyak wanita cantik Papua lainnya yang layak untuk posisi ini seperti Nowela, Lisa Rumbewas, Putri Nere, dan Monalisa Sembor, seperti kata Arie Kriting.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.