SECANGKIR kopi hitam yang saya bubuhkan sedikit bubuk gula merah ke dalamnya belum habis saya seruput.
Sore itu, Jumat, saya masih ingat, pada sebuah kafe di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan, nyaris 12 tahun lalu.
Dari jendela kafe saya menyaksikan matahari mulai tenggelam di ufuk Barat.
Dari situ pula, saya melihat bahwa Jakarta masih kaya dengan hiruk-pikuk kendaraan.
Kemacetan tampak mengular di dua jalur jalan berlawanan arah.
"Primus ya?" seorang perempuan sekitar 40-an tahun, seumuran saya, tiba-tiba, berdiri di depan meja, persis di dekat bangku tempat saya duduk.
"Gue Santi," katanya.
Saya memandang wajahnya dengan takjub.
Rambutnya panjang sebahu.
Bergelombang.
Hitam warnanya.
Sebelum menjawab, di dalam hati saya berkata,"Cakep juga ini cewek."
"Santi?" tanya saya kepada perempuan itu sembari mengernyitkan dahi.
"Iya. Temen lu SD dan SMP. Kita satu sekolahan," kata dia.
Saya masih bingung.
Kembali saya memandang wajahnya.
"Lupa ya? Potongan rambut gue masih kayak dulu loh," ujarnya ramah.
Sebelum saya menjawab, dia kembali berkata,"Waktu SMP banyak cowok yang ngecengin (cari-cari perhatian) gue loh."
Gegara omongan Santi itu, dengan cepat saya menjawab," Oh iya ya? Banyak yang ngecengin lu ya? Tapi, gue enggak ikutan rombongan cowok yang ngecengin lu deh kayaknya."
Tawa kami pun berderai.
"Ah, Primus lu masih kayak dulu aja. Slenge-an (tak acuh)," katanya sembari tersenyum.
"Gue kangen tauk sama kawan-kawan sekolah," kata Santi lagi.
"Gue seneng banget hari ini kita bisa jadi reunian teman-teman seangkatan," katanya.
"Iya gue juga seneng banget," kata saya.
"Eh Primus, gue duduk di kursi sebelah situ ya (sembari menunjuk deretan meja dan kursi yang letaknya sejajar dengan saya). Nunggu teman-teman cewek yang lain, yang bakal datang," tutur.
"Siap Santi!" kata saya mengangkat cangkir kopi dan kembali menyeruput isinya.
Hari itu, saya dan kawan-kawan, termasuk Santi, tentunya, akhirnya jadi bereuni.
Sejak 1982 lulus SD Tarakanita 2 Jakarta dan berlanjut lulus SMP Tarakanita 1 Jakarta pada 1985, kami memang sama sekali jarang bersua kembali.
SD Tarakanita 2 Jakarta dan SMP Tarakanita 1 Jakarta memang cuma selisih satu tembok.
Kedua sekolah asuhan suster-suster biarawati Katolik Carolus Borromeus (CB) itu ada di bilangan Jalan Wolter Monginsidi, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kawasan Santa, begitu orang-orang sekitar mengenalnya.
Sembilan tahun bersekolah di situ, kenangan paling membekas di benak saya adalah banjir.
Letak sekolah yang cuma sepelemparan batu dari Kali Krukut itu memang rentan dilanda banjir saat musim hujan.
Selama sembilan tahun bersekolah di situ, sembilan kali pula saya mengalami kebanjiran.
Seperti biasa, setelah air banjir surut, kami semua, para siswa, guru, dan para pekerja sekolah sama-sama membersihkan sekolah dari lumpur sisa banjir.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.