SECANGKIR kopi hitam yang saya bubuhkan sedikit bubuk gula merah ke dalamnya belum habis saya seruput.
Sore itu, Jumat, saya masih ingat, pada sebuah kafe di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan, nyaris 12 tahun lalu.
Dari jendela kafe saya menyaksikan matahari mulai tenggelam di ufuk Barat.
Dari situ pula, saya melihat bahwa Jakarta masih kaya dengan hiruk-pikuk kendaraan.
Kemacetan tampak mengular di dua jalur jalan berlawanan arah.
"Primus ya?" seorang perempuan sekitar 40-an tahun, seumuran saya, tiba-tiba, berdiri di depan meja, persis di dekat bangku tempat saya duduk.
"Gue Santi," katanya.
Saya memandang wajahnya dengan takjub.
Rambutnya panjang sebahu.
Bergelombang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.