Saya ambil contoh adalah reuni Susterkesot.
Keseringan reuni membuat kami membangun dan mewujudkan rencana membantu finansial siswa Seminari yang kebetulan kurang memadai.
Melalui konsultasi dengan para pegajar di Seminari, kami mewujudkan donasi setiap bulannya.
Kami menyadari bahwa donasi semacam itu tak hanya monopoli angkatan sendiri.
Dari tahun ke tahun sebelumnya, kian banyak angkatan Seminari yang juga ikut melaksanakan donasi seperti itu.
Untuk saya pribadi, gerakan ini, meski belum mumpuni, sudah membawa arti tersendiri bagi mantan siswa, pihak sekolah, hingga siswa yang masih menuntut ilmu di Seminari.
Itu sisi positif reuni sekolah.
Hal lain, tak bisa dimungkiri, reuni sekolah selalu berisi memori yang, kadang, belum selesai.
Apalagi kalau bukan masalah asmara.
Istilah zaman kini adalah CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali atau Cinta Lama Belum Kelar.
Senior saya di SMP pernah berkisah bahwa efek reuni, salah satunya, perselingkuhan.
Rekan yang pernah berkasih-kasihan di masa belia walau ujungnya tak jadi berumah-tangga, bertemu dengan mantan.
Padahal, saat reuni, keduanya sudah punya pasangan masing-masing.
Perselingkuhan, sesekali, tak terhindarkan.
"Itu kan bikin pertemanan jadi enggak asik," ujar kakak senior saya dengan nada terkesan sewot.
Terus-terang, saya hanya tersenyum simpul bila mendengar kisah-kisah perselingkuhan, efek dari sebuah reuni.
Senyum simpul saya itu bukan sembarangan senyum simpul.
Pasalnya, pada sebuah reuni, saya termasuk orang yang ikut jungkir-balik mempertahankan pernikahan seorang rekan yang nyaris remuk-redam lantaran perselingkuhan pasca-reuni.
Lagi-lagi, saya hanya tersenyum jika mengingat-ingat berbagai kisah reuni sekolah.
CLBK adalah sebagian kepingan dari reuni sekolah.
Selain CLBK, reuni juga bisa menghasilkan donasi darah bersama, jalan-jalan bersama, bisnis bersama, dan apa saja hal positif, yang penting dijalankan bersama.
Termasuk, kisah keberhasilan membantu almamater adalah kepingan lain yang membuat pengalaman hidup dari "kebiasaan" reuni yang bukan sekadar CLBK, menjadi kian utuh.
"Gue pulang duluan ya Primus," sapaan Santi menggugah lamunan saya.
"Oh iya silakan," jawab saya.
"Santi, boleh ya gue dapat nomor kontak lu?" kata saya lagi.
"Oh boleh," kata Santi.
Tak lama, nomor kontak Santi pun ada di ponsel saya.
"Makasih ya Santi," kata saya.
"Iya sama-sama. Dagghh Primus," katanya seraya senyum.
"Dagghh juga," kata saya sambil melempar senyum ke arah Santi.
Saya tatap habis punggung belakang Santi yang kian menghilang menjauhi kafe.
Tak lama, kopi pun saya seruput hingga tandas.
Masih menggenggam ponsel, sembari beranjak pergi usai membayar harga secangkir kopi, saya pun berkata dalam hati, "Santi, lu emang cantik."