Jadi, semakin sering orang-orang memposting di media sosial, besar kemungkinan mereka bisa menjadi narsistik atau psikopat.
Baca juga: Inilah yang Dilakukan Seorang yang Narsistik di Akhir Hubungan
Medsos bukanlah tolok ukur kebahagiaan karena orang-orang cenderung menutupi peristiwa buruk dengan menampilkan hal-hal baik.
Kasus yang sama juga berlaku apabila sejoli menjalin hubungan.
Sebab, romantis atau tidaknya pasangan ditentukan dari kenyamanan hati, bukan aktivitas medsos.
Justru pasangan yang bahagia sebenarnya sibuk menikmati kebersamaan satu sama lain ketimbang mengurusi postingan untuk medsos.
Setelah mensurvei lebih dari 100an pasangan, peneliti dari Northwestern University menemukan pasangan yang sering memposting di medsos sebenarnya merasa insecure.
Pertengkaran di medsos seringkali tidak ada ujungnya dan hanya mempermalukan diri sendiri dan pasangan.
Untungnya, hal itu tidak dilakukan oleh pasangan yang bahagia karena mereka tidak mau mengumbar perselisihan di medsos.
Baca juga: 6 Kesalahan yang Harus Dihindari saat Bertengkar dengan Pasangan
Tanda pasangan tidak bahagia lainnya adalah terlalu bergantung pada hubunga.
Peneliti dari Albright College menyebutnya sebagai Relationship Contingent Self-Esteem (RCSE).
RCSE digambarkan sebagai bentuk harga diri yang tidak sehat karena bergantung pada seberapa baik hubungan berjalan.
Orang-orang yang mengalaminya menggunakan medsos untuk membual tentang hubungan mereka, membuat orang lain cemburu, bahkan memata-matai pasangannya.
"Mereka yang RCSE merasa perlu untuk menunjukkan kepada orang lain, pasangan, dan mungkin diri sendiri bahwa hubungannya baik," kata asisten profesor psikologi di New York, Albright Gwendolyn Seidman, Ph.D.
Pasangan yang benar-benar bahagia tidak perlu mencari pengakuan dari medsos untuk membuktikan betapa bahagianya mereka.
Pasangan tidak perlu pamer, membuat orang lain cemburu, atau memata-matai pasangannya.