Apalagi tidak sedikit mereka juga dilengkapi dengan sarana penunjang kehidupan yang berspek tinggi: gawai, laptop, uang jajan, bahkan kendaraan bermotor.
Dengan sederet fasilitas dan kemampuannya, kita bisa melihat banyak perubahan dalam ruang dan media belajar mereka.
Mereka tidak lagi nongkrong di warung biasa. Bersama dengan laptopnya yang mahal, mereka nongkrong pada cafe-cafe yang berkelas, cozy, indah, nyaman, internet yang cepat, makanan dan minuman enak dan sebagainya.
Sehingga ketika mereka mendiskusikan banyak hal, seperti kegiatan yang sifatnya akademik sampai aksi mengabdi kepada masyarakat, dilakukannya dengan santai tetapi elegan dan multi perspektif.
Cara pandang ini kemudian jika kita lihat hasilnya, berbanding lurus dengan sumber daya yang mereka keluarkan.
Sebab dengan kapasitasnya, mereka bisa memanfaatkan jaringan kerja orangtuanya maupun jaringan dia sendiri untuk menyukseskan beragam kegiatan tersebut.
Oleh karena itu, dengan segala kebebasan dan sumber daya yang dimilikinya itu, membuat mereka memiliki medium yang cukup untuk mengamplifikasi apa yang mereka lakukan kepada publik yang luas.
Karena kebutuhan dasar mereka yang “aman”, banyak dari mereka melakukan kegiatan-kegiatan itu sebagai aktualisasi kehidupan.
Bahkan kadang pengabdian yang dilakukannya sebagai bagian dari refreshing diri saja. Mereka bisa melakukan hal ini, karena kulturnya bukan dari kelompok masyarakat yang jarang piknik atau tamasya.
Sehingga dengan kultur mapan yang terbangun di lingkungan tempat dia tumbuh dan berkembang itu, mereka bukan generasi yang ingin menumpang ketenaran pada kegiatan berbasis mengabdi pada masyarakat.
Maka wajar jika mereka bisa disebut sebagai generasi nongkrong produktif. Ide dan pikiran yang mereka asah di ruang-ruang tempat nongkrong yang mahal ternyata juga telah menghasilkan kultur bekerja baru di masyarakat.
Di mana kultur produktif yang dikembangkan dan ditumbuhkan itu bisa jadi di masa mendatang adalah sumber utama dalam perubahan sosial budaya masyarakat kita.
Inilah yang disebut sebagai transformasi sistem produktivitas. Meski belum menjadi budaya, namun simptom ke arah sana demikian nyata dan jelas.
Sebab, apa yang mereka lakukan ini, jika menggunakan pendekatan kritis-Habermas, disebut sebagai dialog inter-subjektif. Di mana perdebatan dilakukan untuk mempertajam ide agar mampu menghasilkan tindakan bermakna cara publik.
Budaya kerja yang selama ini dijadikan main course pada semua lembaga (baik bisnis maupun pelayanan publik) memang sudah terlalu konvensional dan usang, sehingga kurang menarik bagi generasi nongkrong ini.