Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Kompas.com - 30/03/2023, 13:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ia membuat saya tercenung lama. Bukankah ketiganya pelan-pelan sudah terjadi di negri ini?

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Makanan Pendamping ASI kita sudah lama berbau kebarat-baratan. Aneka kudapan berbau asing bersliweran di media sosial. Mulai dari nugget, dimsum hingga pancake.

Mana ada lagi ibu-ibu muda membuat lemper, serabi, dan talam? Apalagi mengenal kudapan ‘mento’ seperti yang kami buat di Kalibawang - seperti yang saya ulas di awal tulisan ini. Belum lagi, minyak kelapa telah digeser minyak zaitun dan kanola – yang bahannya saja bukan dari negri ini.

Dari nama makanan, jelas masalah bahasa sudah jadi krisis. Apalagi bahasa yang digunakan sehari-hari. Banyak keluarga muda merasa lebih ‘punya status’, jika anaknya bisa berbahasa asing cas-cis-cus.

Semakin banyak juga mahasiswa saya kesulitan menulis esai dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahkan dalam diskusi saat kuliah, ada beberapa mahasiswa yang berlogat aneh seakan dia lebih fasih berbahasa Inggris.

Dan akhirnya krisis budaya menjadi ancaman terakhir. Ritual tradisional hanya muncul sebatas ‘keseruan acara’, mulai dari perkawinan hingga ikut-ikutan upacara turun tanah anak bayi. Padahal, di luar itu mereka merayakan baby shower hingga Halloween yang tak jelas asal usulnya.

Dan satu-dua tahun belakangan ini ada tambahan ‘hari raya baru’, ramai-ramai mengutip istilah boxing day, demi harga diskon belanja di bulan Desember. Sekali lagi: tanpa paham makna apalagi kaitannya.

Baca juga: Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Indonesia adalah negara besar dengan potensi akbar di segala bidang. Artinya, kekuatan ini harus dipertahankan dan ditegakkan tanpa perlu ‘terlalu lentur’, yang membuat karakter kebangsaan jadi kabur.

Besarnya pengaruh kepala dusun, kepala puskesmas hingga kepala daerah merupakan kekuatan inti bangsa mengentaskan kemiskinan literasi gizi.

Dimulai dari kesadaran membangun masyarakat bergizi yang bebas kepentingan, saya yakin banyak masalah akan tertanggulangi tanpa banyak pusing, apalagi upaya pontang-panting.

Sebab kuncinya satu: gizi yang baik menciptakan generasi tanpa stunting, cerdas berdaya saing!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com