Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Seberapa "Helicopter Parenting" Kita sebagai Orangtua?

Kompas.com - 13/06/2023, 15:37 WIB
Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Ruslinda Desiana Ginting, Riana Sahrani, dan Fransisca I. R. Dewi*

BARU-baru ini, film layar lebar berjudul “Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang” bercerita tentang seorang anak yang sedang kuliah di luar negeri dan sedang menghadapi masalah.

Sebagai orang yang sudah dewasa, ia berusaha menyelesaikan masalahnya tersebut.

Orangtuanya memberikan semuanya kepada anaknya seperti mengirimkan uang supaya anak tidak mengalami kesulitan, mengirimkan anggota keluarga untuk mencari tahu persoalan anaknya, dan terus-menerus menghubungi anak.

Kesimpulannya adalah bahwa sebagai orangtua segala upaya akan dilakukan. Jika bisa kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki, walaupun orangtua susah, tapi akan tetap dilakukan asalkan anak tidak mengalami kesusahan.

Inilah fenomena yang banyak terjadi pada sebagian orangtua, semua permasalahan anak ingin diambil alih oleh orangtua.

Ibarat “helikopter” yang melayang-layang di sekitar anak, demikianlah tipe helicopter parents memantau secara ketat setiap detail gerak-gerik anak dan siap membantu kapanpun dan di manapun.

"Helicopter parenting" mengacu pada bentuk pengasuhan yang terlalu terlibat dan tidak sesuai dengan perkembangan anak.

Orangtua mencegah anak-anak memikul tanggung jawab atas pilihannya sendiri dengan tujuan untuk “menyelamatkan” anak-anak dari kemungkinan mendapatkan hasil negatif dan kegagalan serta demi menjamin kesuksesan anak.

Orangtua dengan tipe "helicopter parenting" merasa cemas dengan kinerja anaknya sehingga orangtua akan ikut menyelesaikan PR, proyek atau tugas anaknya.

Bahkan, orangtua rela menyelesaikan masalah yang dihadapi anak tanpa memberikan ruang bagi anak mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Orangtua yang terbiasa dengan "helicopter parenting" sejak anak masih kecil dapat berlanjut hingga anak menginjak usia 18-25 tahun, di mana anak sudah semestinya mengembangkan kemandirian.

Menurut Odenweller at al. (2014), orangtua dengan "helicopter parenting" memiliki karakteristik akan terus-menerus bertanya setiap hal detail kepada anak, terlalu ikut campur dalam urusan pribadi anak, membuat keputusan penting untuk kehidupan anak, terlibat tujuan pribadi anak, dan berusaha menyingkirkan masalah yang dihadapi anak.

Tampaknya niat orangtua tersebut baik. Namun berdasarkan beberapa penelitian yang ada ditemukan bahwa keterlibatan yang berlebihan akan berdampak negatif pada perkembangan anak.

Bagaimana dampaknya pada anak yang diasuh dengan "helicopter parenting"?

Pertama, anak memiliki kepercayaan diri atau efikasi diri yang rendah (Jung et al., 2019). Mereka ragu akan kemampuannya karena terbiasa dibantu orangtua.

Kedua, berdampak terhadap kesejahteraan psikologis anak seperti menimbulkan kecemasan dan stres, bahkan terpaksa minum pil nyeri dan obat cemas dan depresi (LeMoyne & Buchanan, 2011).

Kepercayaan diri dan harga diri yang rendah akan menyebabkan kecemasan, stres, dan depresi.

Ketiga, anak memiliki keterbukaan yang rendah terhadap pengalaman baru dan menjadi ketergantungan (Montgomery, 2010).

Bahkan anak merasa bahwa dirinya memiliki hak istimewa untuk mendapatkan bantuan dari orang dewasa lainnya, karena terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan.

Keempat, menghambat kemampuan anak untuk belajar bertanggung jawab sehingga menjadi tidak mandiri (Ungar, 2009).

Anak kurang bertanggung jawab dan tidak mandiri karena orangtua kurang mempercayai mereka membuat keputusan sendiri dan tidak terbiasa menyelesaikan masalah.

Kelima, mengakibatkan rendahnya kualitas komunikasi orangtua-anak (Segrin et al., 2012). Terjadi hubungan kurang baik karena anak merasa orangtua mengendalikan diri anak dan secara tidak langsung berpengaruh pada kepuasan keluarga yang rendah.

Keenam, memiliki strategi coping yang buruk (Bradley-Geist & Olson-Buchanan, 2014). Coping yang buruk dikarenakan anak tidak terbiasa menghadapi kekecewaan ataupun kegagalan dan cara menanganinya.

Ketujuh, menurunnya motivasi dan prestasi akademik (Kim et al., 2013; Schiffrin&Liss, 2017).

Kedelapan, menurunnya penyesuaian akademik dan sosial (Darlow et al., 2017).

Lalu apakah ayah dan ibu berbeda dalam "helicopter parenting"? Berdasarkan temuan penelitian Ginting, Sahrani, dan Dewi (2022) pada siswa SMA X, bahwa mereka mengalami pemantauan ayah dan ibu secara ketat gerak-geriknya. Kedua orangtua siap membantu kapanpun dan di manapun.

Namun demikian, ibu lebih sering dibandingkan ayah dalam pemantauan anak-anaknya. Hal ini merupakan hal biasa, bahwa pengasuhan lebih banyak dilakukan seorang ibu.

Dalam masyarakat kita, sosok ibu memang biasanya lebih banyak berinteraksi dan memperhatikan anak dibandingkan ayah.

Temuan lainnya, ibu melakukan pemantauan atau turut campur dalam urusan pribadi anak, sementara pemantauan ayah dilakukan terkait tujuan pribadi atau dalam meraih cita-cita anak.

Lalu apakah yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua agar dapat mencegah diri dari menjadi helicopter parents?

  1. Hendaknya orangtua berkomunikasi baik dengan anak dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya.
  2. Tidak terlalu terlibat dalam urusan ataupun privasi anak.
  3. Memberikan kesempatan anak untuk memiliki tujuan pribadi.
  4. Memberikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalah pribadi.
  5. Memberikan kesempatan pada anak untuk membuat keputusan sendiri, misalnya, mengenai tujuan masa depan mengenai jurusan kuliah dan pekerjaan yang diinginkan, dan lain sebagainya.
  6. Hendaknya ayah dan ibu bersama-sama bersepakat dalam memberikan pengasuhan yang lebih sesuai dengan karakter ataupun kepribadian anak.

Lalu sebagai seorang anak apa yang hendaknya dilakukan? Seorang anak perlu berkomunikasi dengan orangtua tentang pengalaman dan perasaan yang tidak menyenangkan atas pemantauannya, namun tetap menjaga kepatuhan pada orangtua.

Menjadi orangtua tentunya tidak mudah dan setiap orangtua pasti menginginkan anaknya sukses dan berhasil.

Mari mengasuh dengan cinta yang lebih baik demi keluarga yang lebih baik. Happy Parenting!

*Ruslinda Desiana Ginting, Mahasiswi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara
Riana Sahrani dan Fransisca I. R. Dewi, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com