Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Ibu di Kalimantan Barat Tangkal Kabut Asap demi Buah Hati

Kompas.com - 20/09/2023, 17:00 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

KOMPAS.com - Kabut asap akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di berbagai kota di Kalimantan Barat sudah jadi tamu langganan.

Setiap tahunnya, ada beberapa bulan saat kualitas udara begitu buruk akibat ratusan titik api menyebar di provinsi dengan luas perkebunan sawit 2.017.456 hektar ini, kedua terbesar di Indonesia.

Cuaca panas terik, abu beterbangan dan asap tebal yang membuat mata pedih sudah jadi makanan sehari-hari.

Baca juga: 10 Hektar Lahan di Ketapang Terbakar, Api Masih Belum Bisa Dipadamkan

Berbeda dengan polusi udara Jakarta dan sekitarnya yang kerap jadi atensi, bencana tahunan kabut asap di Kalimantan Barat memang tak begitu sering dapat perhatian publik.

Karenanya, masyarakat harus berjuang secara mandiri untuk menjaga dirinya sendiri, termasuk para ibu.

Sikap para ibu hadapi kabut asap di Kalimantan Barat

Nadya Alina, ibu muda yang punya dua anak laki-laki balita penderita penyakit asma, diwarisi dari dirinya.

Beda dari ibunya yang tumbuh besar di Bandung dengan udara yang lebih bersahabat, kedua jagoannya itu mengalami nasib yang berbeda.

Nadya dan anak-anaknya tinggal di jantung Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang kerap dilanda kabut asap.

Baca juga: Hingga September, 12.537 Hektare Lahan di Kalbar Terbakar, Terluas di Sambas dan Ketapang

Status wilayah tersebut sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat, sekitar 1.293.690 ton per tahun berdasarkan data BPS 2021, jelas berkaitan.

Upaya perluasan perkebunan kelapa sawit di Ketapang, kini mencapai 673.148 hektar, sering kali diwarnai dengan pembakaran lahan yang memicu bencana kabut asap.

Alhasil, kedua anak Nadya lebih rentan kambuh asmanya di saat seperti itu.

Apalagi si bungsu, yang kini masuh berusia 11 bulan, pernah terkena pneumonia saat masih berusia satu bulan.

"Kalau adek ini kambuh kalau kena asap-asapan, ya asap rokok dan kabut," ujarnya, saat berbincang dengan Kompas.com, pada akhir Agustus lalu.

Sadar akan situasinya, Nadya, yang pernah mengenyam pendidikan keperawatan, melakukan penanganan khusus bagi anaknya termasuk mengonsumsi berbagai vitamin sebagai booster imunitasnya.

Ia juga khusus membeli nebulizer, air purifier sampai diffuser untuk memastikan kualitas udara di dalam rumah terjaga.

Selain itu, anak-anaknya dilarang keluar rumah sepenuhnya saat kabut asap menyelimuti pemukiman.

Baca juga: Kabut Asap dan Dampaknya Bagi Kesehatan

"Jadi aku selama asap ini enggak berhenti nyalain air purifier sama diffuser. Dan full mekap [mengurung diri] di rumah," terangnya.

Bagi ibu dengan dua anak laki-laki yang sedang dalam masa aktif, tentunya keputusan ini tidak mudah.

Ada saja momen ketika buah hatinya rewel karena ingin bermain di luar ruangan, yang lalu ditanganinya dengan mengajak dua bocah itu berkeliling kota naik mobil.

"Enggak betah di dalam rumah makanya kita sering jalan-jalan tapi di dalam mobil aja," tukasnya.

Ia mengupayakan segala yang terbaik untuk kesehatan pernapasan anak-anaknya meski masih memendam harapan untuk bisa pulang ke Bandung, yang jauh dari kabut asap.

"Pengennya sih nanti balik lagi ke Bandung, tapi untuk jarak dekat ini sih enggak memungkinkan," tambahnya.

Baca juga: Apa Penyebab Asma? Kenali 7 Faktor Risikonya...

Penyebab asma pada anak.iStockphoto/FamVeld Penyebab asma pada anak.
Nasib serupa juga dialami Fransiska, ibu satu anak yang tinggal di Kota Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat yang sebenarnya jauh dari lahan perkebunan sawit tapi tidak bebas kabut asap.

Bencana tersebut sudah jadi makanan sehari-hari sehingga ia menanggapinya dengan 'nyaris' santai.

"Sudah dua hari ini lumayan [kondisinya], enggak terlalu [parah], sebelumnya parah sampai upacara [17 Agustus] ditiadakan" katanya, lewat pesan tertulis pada 20 Agustus lalu.

Beberapa hari sebelumnya termasuk di momen HUT ke-78 Republik Indonesia, anaknya terpaksa diliburkan dari sekolah dan belajar secara online karena kabut asap yang begitu tebal.

Baca juga: Natuna Diselimuti Kabut Asap Kiriman dari Kalbar, Mata Jadi Perih dan Kualitas Udara Buruk

Menurutnya, kabut asap di tahun 2023 ini memang tergolong parah, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Banyak abunya yang terbang-terbang, terus asapnya tebal. Apalagi kalau di sudah di atas maghrib menjelang malam, mulai pekat sampai mata pedih," katanya.

Pemerintah setempat secara rutin memberikan himbauan dan kabar terbaru soal situasi bencana tersebut, yang dijadikan Fransiska sebagai acuan untuk menentukan sikap.

Ia membatasi bepergian keluar rumah dan memberikan masker serta helm khusus dengan penutup agara mata anaknya tidak pedih jika harus berkendara.

Ia juga belum merasa butuh air purifier karena anaknya tergolong sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit pernapasan.

Baca juga: Apakah Air Purifier Efektif Mengurangi Paparan Polusi Udara? Begini Penjelasannya

Sedikitnya 10 hektare lahan di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) terbakar sejak beberapa hari terakhir. dok Manggala Agni Sedikitnya 10 hektare lahan di Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) terbakar sejak beberapa hari terakhir.
Sikap serupa juga diambil Susi, seorang ibu asal Ketapang, yang memiliki anak perempuan penderita asma.

Bedanya, ia enggan menggunakan air purifier karena beranggapan alat tersebut tidak memberikan efek yang bermanfaat untuk menangkal udara buruk.

"Kalau kata teman-teman yang pakai AP [air purifier] enggak ngefek selama musim asap jadi enggak pakai. Kalau asap tebal AP juga sering error," terangnya.

Baca juga: Polusi Udara Picu Kekambuhan Asma

Ia memilih langkah pencegahan dengan membatasi keluar rumah, seperti era pandemi Covid-19.

Saat kabut asap tergolong tebal, anaknya dibekali dengan masker dan inhaler jika memang harus bepergian.

"Di rumah selalu sedia obat nebu," tambahnya.

Ribuan titik panas di Kalimantan Barat

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, terdapat 3.275 titik panas (hotspot) di provinsi tersebut sejak 1-17 Agustus 2023.

Seluruhnya ada di 203 area konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

Sampai akhir Agustus 2023, jumlahnya bahkan bertambah drastis mencapai 7.374 hotspot meskipun otoritas setempat melakukan modifikasi cuaca untuk mendatangkan hujan.

Baca juga: Meningkat 400 Persen, Jumlah Titik Panas di Kalbar Mencapai 50.000

Tentunya, kualitas udara sangat tidak sehat di berbagai kota yang ada di Kalimantan Barat.

Menurut situs pemantau kualitas udara IQAir, indeks kualitas udara di Kota Pontianak sempat mencapai angka 334 di pertengahan Agustus, tergolong berbahaya untuk kesehatan.

Sebenarnya, kondisi ini bukan sesuatu yang baru di Pontianak maupun wilayah lainnya di Kalimantan Barat.

Riset Fakultas Teknik Universitas Tanjung Pura, Pontianak yang diterbitkan tahun 2020 membuktikan ada kaitan antara titik panas, yang merupakan sumber terbentuknya asap, dengan peningkatan jumlah penderita penyakit ISPA.

Berdasarkan data ini, terdapat 7.039 titik panas yang ada Kota Pontianak selama Juli-September 2019.

Kondisi tersebut berdampak pada jumlah pasien ISPA di berbagai fasilitas kesehatan di wilayah yang sama yang mencapai 15.908 orang.

Banyak di antaranya sempat mengalami kondisi gawat darurat termasuk sesak napas, mengi dan batuk.

Baca juga: Dampak Asap Karhutla, 189.111 Warga Kalsel Terserang ISPA

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com