Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tren Perfeksionisme Berbahaya? Ini Ulasan Psikologinya

Kompas.com - 07/03/2024, 15:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Graciella Camberly dan Bonar Hutapea, S.Psi., M.Psi.*

Perfectionism is not as much the desire for excellence, as it is the fear of failure couched in procrastination.” - Dan Miller.

PERFEKSIONISME semakin menjadi tren, tapi sekaligus rumit, kontroversial dan epidemik tersembunyi?

Ya! Tak hanya di kalangan orang muda atau dewasa muda, tapi juga remaja, bahkan anak-anak, mencakup berbagai bidang kehidupan: pendidikan, karier, penampilan fisik, maupun pencapaian pribadi.

Penelitian Thomas Curran dan Andrew P. Hill York yang dipublikaskan pada Psychological Bulletin terbitan American Psychological Association tahun 2019 menunjukkan, hasil survei terhadap lebih dari 41.000 partisipan menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan perfeksionis pada generasi Millenial dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Menguatnya perfeksionisme juga ditemukan pada remaja dan anak-anak pada tiga dekade terakhir, sebagaimana di antaranya disitir Rachel Simmons di The Washington Post tahun 2018 dan Newport Academy juga Los Angeles Times tahun 2022.

Apakah tren semacam ini hanya ditemukan di dunia Barat dan masyarakat individualistik?

Tidak! Di negeri ini, sebagaimana di negara-negara Asia lainnya, juga banyak anak muda, termasuk para pesohor (selebritis) yang mengakui dalam sejumlah wawancara, adanya kecenderungan perfeksionis pada diri mereka hingga bekerja sampai larut malam dan tidak jarang berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Apa tanda-tanda perfeksionisme?

Perfeksionisme adalah sifat atau karakteristik kepribadian atau disposisi kepribadian, namun belum tentu digolongkan sebagai gangguan psikologis atau gangguan kesehatan mental, meski beberapa ahli seringkali menyebut ada tendensi patologis.

Bila mendapati atau mengamati tanda-tanda berikut ini, yang dihimpuan dari berbagai sumber terutama hasil penelitian, patut diduga bahwa terdapat kecenderungan perfeksionis:

  1. Kesulitan menyelesaikan tugas karena pekerjaan dianggapnya tidak pernah “cukup baik”;
  2. Kecemasan yang intens seputar kemungkinan mengalami kegagalan; 
  3. Terlalu peka atau amat sensitif terhadap kritik;
  4. Mengalami frustrasi ekstrem ketika terjadi kesalahan;
  5. Menunda-nunda untuk menghindari tugas-tugas sulit;
  6. Terlalu kritis terhadap diri sendiri, merasa rendah diri, dan mudah merasa malu;
  7. Kesulitan mengambil keputusan dan memprioritaskan tugas;
  8. Sangat kritis terhadap orang lain;
  9. Defensif terhadap kritik sekalipun kritik yang membangun sebab penampilan yang kurang sempurna dianggap sangat menyakitkan dan menakutkan;
  10. Pemikiran ”semua atau tidak sama sekali” (all-or-nothing thinking), yaitu cenderung berpikir ekstrem, memandang situasi sebagai sesuatu yang sempurna atau gagal total, sulit menemukan jalan tengah dan sering kali tetap merasa kecewa meskipun sudah mencapai sesuatu yang mengagumkan.

Adakah yang salah bila seseorang memiliki harapan tinggi dan menetapkan standar tinggi bagi diri sendiri lalu berupaya keras untuk mencapai atau muwujudkannya?

Sama sekali tidak, bahkan baik. Hanya saja akan menjadi masalah dan berakibat buruk bila ingin mencapai kesempurnaan, standar yang ditetapkan terlampau tinggi dan mengevaluasi secara berlebihan atau terlampau kritis terhadap diri sendiri sebagaimana ditulis Daniel J. Madigan pada 2019 pada Educational Psychology Review.

Mengacu pada dimensi perfeksionisme yang diulas Stoeber dan Gaudreau tahun 2017 dalam Personality and Individual Differences bahwa upaya menuju kesempurnaan dan standar pribadi yang sangat tinggi (perfectionistic strivings) tidak berdampak buruk sejauh perfectionistic concerns tidak tinggi.

Yakni antara lain, tidak terlalu khawatir bila melakukan kesalahan, tidak takut terhadap penilaian negatif dari orang lain, tidak perlu ragu-ragu dalam bertindak, dapat menerima ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan serta tidak perlu bereaksi negatif terhadap ketidaksempurnaan.

Perfeksionisme semacam ini dapat dikatakan masih dalam batas wajar, seringkali disebut sebagai adaptive, or ‘healthy’ perfectionism.

Salah satunya ditemukan David W. Chan pada 320 anak berbakat di Tiongkok yang dipublikannya pada 2010 dalam Journal for the Education of the Gifted.

Perfectionistic concerns disebut sebagai unhealthy or "maladaptive" perfectionism atau seringkali dinamai sebagai toxic perfectionism karena dinilai sudah berlebihan.

Perfectionistic concerns terdiri dari tiga tipe, namun bisa saja menjadi kombinasi:

Pertama, perfeksionisme berorientasi pada diri sendiri yang ditandai dengan keinginan untuk memenuhi standar tinggi, tetapi tidak realistis yang ditetapkan bagi diri sendiri.

Kedua, perfeksionisme yang ditentukan secara sosial, yakni berusaha keras untuk memenuhi standar tinggi yang tidak realistis yang diyakini diharapkan orang lain dari dirinya, dan dipersepsikan sebagai tekanan pada dirinya untuk dapat memenuhinya.

Ketiga, perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain, yakni menjunjung tinggi standar orang lain yang tidak realistis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com