Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tren Perfeksionisme Berbahaya? Ini Ulasan Psikologinya

Kompas.com - 07/03/2024, 15:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mengapa (harus) menjadi perfeksionis dan tren perfeksionisme meningkat?

Perfeksionisme dipandang sebagai hal positif, dikagumi, dan disanjung. Misalnya, meskipun ada orang yang kurang senang bila mendapat komentar dan penilaian terhadap dirinya sebagai orang perfeksionis, faktanya sangat banyak orang yang menuliskan dan menyatakan kecenderungan perfeksionis sebagai kelemahan atau sifat buruk dirinya.

Tentu saja, dapat dianggap pengakuan ini sebagai pujian tersamar, pujian halus dan manis bagi diri sendiri, bukan sebenarnya bermakna buruk atau dimaksudkan sebagai sesuatu yang buruk.

Menetapkan standar sangat tinggi, selalu bekerja untuk mencapai hasil sempurna sekaligus tidak menoleransi kesalahan sekecil apapun seakan-akan sebagai character strenght dan menjadi rahasia kesuksesan.

Lebih jauh, bila diringkaskan dan dikelompokkan dari berbagai sumber, ditemukan sejumlah sebab dan faktor yang memengaruhinya. Di antaranya adalah:

Pertama, situasi sosial dan global yang cepat berubah, tidak menentu, kompleks, dan ambigus seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang tak stabil dan tidak terkendali sehingga berpikir bahwa jika dunia kacau balau, maka hidup harus dibuat sempurna agar sanggup menghadapi situasi tersebut.

Kedua, media sosial berperan dalam memperkuat perfeksionisme khususnya pada remaja dan orang muda karena menjadi wahana bagi dorongan untuk memamerkan kesuksesan, keterhubungan dan ’disukai’ (mendapatkan ’like’ dalam platform digital dengan segera).

Dalam media sosial ini pula perbandingan sosial menguat dengan ingin tampil seperti orang lain, bahkan ingin melampaui dengan tampil lebih pintar, lebih kompeten dan selaiknya takut bila orang lain melampauinya.

Ketiga, nilai budaya tertentu khususnya individualisme sangat menekankan pada determinasi diri, kemampuan untuk berkembang dan berhasil sangat bergantung pada bakat individu dan usaha keras kita yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat kompetitif.

Akibatnya, seseorang menganggap harus tampil sempurna agar merasa aman dan terhubung secara sosial.

Keempat, lingkungan sosial-keluarga meliputi kecemasan dan perfeksionisme orangtua khususnya ibu, keluarga yang berorientasi kuat pada prestasi.

Kelima, aspek psikologis seperti takut akan penilaian atau ketidaksetujuan dari orang lain, pengalaman masa kanak-kanak, seperti memiliki orangtua dengan ekspektasi tinggi yang tidak realistis, gangguan obsesif-kompulsif, harga diri yang rendah, menganggap diri tidak mampu (inadekuat), dan mengikatkan harga diri pada prestasi.

Penelitian Curran dan York yang sudah disinggung sebelumnya menegaskan bahwa generasi muda saat ini merasa bahwa orang lain lebih menuntut atau tuntutan orang-orang terhadap mereka semakin tinggi, selain lebih menuntut terhadap orang lain, dan juga lebih menuntut terhadap diri sendiri.

Generasi muda merasakan tekanan untuk tampil tanpa cela dalam segala hal. Tiga dekade neoliberalisme diyakini telah memaksa generasi muda untuk bersaing keras satu sama lain dalam tuntutan parameter sosial dan ekonomi yang tinggi.

Apa saja dampak buruknya?

Secara umum, menjalani kehidupan sebagai orang yang perfeksionis adalah cara hidup yang sangat melelahkan secara fisik maupun mental.

Berikut beberapa dampak nyata yang dialami seorang perfeksionis yang disarikan dari berbagai sumber.

Pertama, dampak fisik antara lain gangguan kesehatan seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, gangguan pencernaan, sakit kepala kronis/migren, nyeri kronis, hipertensi, asma, dan pada tingkat akut dapat menyebabkan kematian dini.

Kedua, dampak psikologis meliputi adiksi, perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm), burn-out, kecemasan dan depresi serta lebih sulit untuk menikmati hidup karena selalu dikejar pikiran dan perasaan akan tuntutan untuk sempurna selain merasa tidak bahagia, marah, kecewa dan frustrasi bila tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan harapan dan yang direncanakan.

Ketiga, dampak sosial, yakni keinginan untuk menjadi sempurna dapat merenggangkan hubungan interpersonal yang dimiliki karena membuat teman, keluarga, dan orang lain ikut merasa tertekan.

Tidak jarang, menganggap dirinya yang benar dan mengkritik orang di sekitarnya hingga mengganggu hubungan sehari-hari.

Pada remaja dan anak-anak, umum ditemukan dampak berikut:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com