Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tren Perfeksionisme Berbahaya? Ini Ulasan Psikologinya

Kompas.com - 07/03/2024, 15:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
  1. Emosional, yakni meningkatnya stres dan kecemasan, ketakutan gagal sehingga berdampak buruk pada perkembangan emosi yang sehat dan kesejahteraan psikologis;
  2. Akademik, yakni menunda-nunda atau menghindari tugas karena takut melakukan kesalahan sehingga prestasi akademik menurun selain menghambat kemampuan untuk mengambil risiko, mengeksplorasi ide-ide baru, dan belajar dari kesalahan;
  3. Sosial khususnya interaksi sosial atau relasi dengan sebaya karena terhambat dalam membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna. Sebagai akibatnya, seorang perfeksionis mengalami isolasi sosial dan perasaan kesepian. Hambatan tersebut terjadi disebabkan keinginan menghindari situasi sosial karena takut dihakimi atau dikritik.

Apa yang dilakukan untuk mengurangi dan/atau menangani bahaya perfeksionisme?

Meski berlaku juga pada orang muda, secara khusus sejak dini diharap sudah diterapkan pada remaja dan anak-anak sehingga kecenderungan ini tidak berlanjut dan dampak buruk yang ditimbulkan tidak sampai pada masa dewasa.

Untuk itu, diharapkan orang dewasa, orang tua, guru, saudara kandung dan sebagianya, mendorong pertumbuhan pribadi dan pola pikir untuk perkembangan diri, pujian yang efektif dan kritik konstruktif, menekankan agar menghargai proses bukan hanya hasil akhir dan kepuasan bila telah melakukan yang terbaik terlepas dari hasil akhir yang diperoleh.

Selanjutnya, hendaknya diingatkan pepatah asing ”practices make perfect” yang dimakna bahwa daripada hanya memikirkan bagaimana cara mencapai hasil sempurna, akan lebih baik memulai mengerjakan saja sekarang.

Sebab, selain mustahil, kesempurnaan atau sesuatu mendekati sempurna juga hanya mungkin dan akan terbentuk setelah dilatih atau berlatih terus menerus.

Bantulah mereka agar tetap fokus pada apa yang dapat dikendalikan, yakni sikap, usaha, dan tindakan selain menyadarkan bahwa begitu banyak aspek keberhasilan maupun kegagalan yang berada di luar kendali pribadi seseorang.

Hendaknya dibantu pula, alih-alih mengkritik diri dengan keras, agar dimiliki welas-asih diri (self-compassion) sebab selain ambisius, pekerja keras dan rajin, perfeksionis menyalahkan diri sendiri dan kurang memiliki rasa kasihan pada dirinya bila segala sesuatu berjalan tak sesuai harapannya.

Tak lupa mengingatkan dampak buruk perfeksionisme yang berlebihan, menetapkan kriteria keberhasilan atau kesuksesan yang realistis serta memilih idola yang juga realistis, yakni menyadari dan mengakui keterbatasan dan kodrat manusia.

Namun yang terutama dari semua ini adalah orang dewasa menjadi teladan atau berperan sebagai panutan yang kuat (role model) bagi mereka untuk menerima kesalahan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hakikat manusia dengan tetap menunjukkan daya juang dan ketangguhan pribadi dalam proses dan mencapai tujuan.

Bila diperlukan, jangan ragu untuk mendapatkan bantuan profesional agar mendapatkan penanganan dengan teknik, metode dan pendekatan yang sesuai, didahului dengan asasmen dan mengungkap akar penyebabnya.

Satu hal yang penting untuk diingat adalah tidak semua orang yang berjuang untuk menjadi yang terbaik adalah perfeksionis. Orang dengan orientasi berprestasi tinggi juga belum tentu perfeksionistik.

Perfeksionisme menjadi masalah ketika menjadi pola pikir yang mencakup segalanya. Artinya segala sesuatu harus sempurna, menyebabkan ketegangan dan kesusahan serta mengganggu perkembangan yang sehat ataupun kehidupan sehari-hari.

Kutipan di awal tulisan ini dari Dan Miller, seorang career coach, pembawa acara bincang-bincang dan pengarang buku terlaris, kiranya menjadi pengingat bahwa memang benar, alih-alih sebagai keinginan untuk menjadi yang terbaik, perfeksionisme justru mengindikasikan ketakutan akan kegagalan dan justru berakibat pada penundaan.

Selanjutnya penundaan pada gilirannya sangat mungkin menyebabkan kegagalan itu menjadi benar-benar terjadi.

Jangan sampai terjadi apa yang dikatakan peneliti sosial Brene Brown disebut sebagai “kelumpuhan hidup” merujuk pada semua peluang yang terlewatkan karena terlalu takut untuk mengungkapkan apa pun yang mungkin tidak sempurna, semua mimpi yang hilang karena ketakutan yang mendalam akan kegagalan, membuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain.

Di sinilah menjadi benar bila dikatakan bahwa perfeksionisme tak hanya merusak individu-individu tapi juga masyarakat, sebab menjadi musuh bagi kesejahteran (wellbeing) dan juga musuh bagi kemajuan, karenanya layak bila dianggap sebagi masalah sosial-kemasyarakatan (societal problem).

Maka mari selalu mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa dalam hidup ini tak ada yang sempurna. Berhati-hatilah dengan jebakan perfeksionisme, seolah-olah perfeksionisme sangat menguntungkan dan manis.

Situasi dunia atau global memang cepat berubah, tak pasti, rumit, tapi tidak perlulah hidup dan diri kita sempurna agar dapat menghadapi dan mengatasinya. It’s okay not to be perfect.

*Graciella Camberly, Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Bonar Hutapea, S.Psi., M.Psi, Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com