Menurut Mira, manusia memiliki kebutuhan akan afeksi atau hubungan yang memberi rasa dihargai dan diperhatikan.
Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam keseharian, misalnya karena sibuk, tidak punya pasangan, maka ruang kosong itu bisa diisi oleh perhatian dari siapa saja, termasuk pelaku penipuan asmara.
“Bagi banyak orang, hubungan relasi itu seperti nutrisi bagi jiwa. Kalau kekurangan, kita jadi mudah tergoda oleh bentuk perhatian yang tampaknya tulus, padahal manipulatif,” kata Mira.
Sementara itu, pelaku love scamming biasanya sangat pandai membangun kedekatan emosional lewat pujian, cerita personal, dan komunikasi yang intens.
Inilah yang membuat korban merasa dilibatkan secara emosional dan akhirnya percaya.
Baca juga:
Mira menambahkan, dalam kondisi lelah secara emosional, seseorang bisa kehilangan daya kritisnya.
“Ketika sedang butuh validasi atau merasa down, kita cenderung ‘meng-off-kan’ logika. Ini alamiah, karena emosi yang mengambil alih,” jelas Mira.
Akibatnya, sinyal-sinyal bahaya seperti permintaan uang, cerita yang tidak masuk akal, atau identitas yang tidak jelas bisa diabaikan.
“Korban tahu sesuatu terasa janggal, tapi memilih percaya karena ingin mempertahankan rasa aman emosional yang sementara itu,” imbuhnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarangView this post on Instagram