Tradisi jamasan atau mencuci pusaka seperti keris, tombak, dan benda bertuah lainnya dilakukan secara khusus di malam Satu Suro.
Masyarakat percaya bahwa pusaka memiliki energi yang harus dibersihkan secara berkala.
Jamasan bukan sekadar ritual mistik, melainkan cerminan penghormatan terhadap sejarah dan leluhur. Pusaka adalah simbol warisan nilai, bukan semata benda bertuah.
Baca juga: 19 April Jadi Hari Keris Nasional, Langkah Lestarikan Warisan Budaya
Dari penelitian karya Galuh, perilaku seperti berkata buruk, menghina orang lain, atau mengeluarkan emosi negatif di malam 1 Suro dapat membawa dampak nyata.
Konon, ucapan buruk malam itu diyakini memiliki kekuatan “magnetik” yang bisa menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, malam 1 Suro menjadi momen untuk menjaga sikap, laku, dan tutur kata.
“Ini juga dikaitkan dengan sebagian orang Jawa yang percaya keberadaan makhluk gaib di bulan Suro. Mereka akan keluar dan mencari manusia yang bertindak lalai dalam ingat dan waspada (eling lan waspada),” ujar Galuh.
Masyarakat Jawa juga meyakini bahwa pindah rumah atau membangun tempat tinggal pada malam 1 Suro dapat mendatangkan malapetaka atau kesialan.
Kepercayaan ini masih dipegang teguh, terutama oleh kalangan sesepuh yang masih memegang teguh adat.
Mitos ini berakar dari filosofi waktu. Bulan Suro adalah waktu untuk “menetap dan menata”, bukan memulai hal besar.
Secara spiritual, malam itu dianggap sakral dan tidak boleh dikotori oleh aktivitas duniawi yang besar seperti pindahan.
Baca juga: Sambut Satu Suro, Ini 5 Tradisi yang Dilakukan Masyarakat Jawa
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang