Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DI BERAGAM tempat, tua-muda, laki-perempuan, berhijab atau tidak, penggunaan rokok elektrik atau vape sedemikian marak.
Dalam satu dekade terakhir, vape atau rokok elektrik menjelma menjadi gaya hidup, terutama di kalangan anak muda.
Dari kafe hingga area kampus, tak sulit menemukan remaja yang menghembuskan asap tebal dengan aroma buah, manisan, atau apapun. Mereka mengalungkan alat hisap atau vape dengan beragam bentuk, misalnya mirip dengan pena.
Industri vape mempromosikan produknya sebagai alternatif “lebih aman” daripada rokok konvensional.
Tentu saja itu adalah promosi yang bias atau tidak sepenuhnya benar karena aman dan tidaknya sangat tergantung dengan kandungan cairan yang digunakan.
Faktanya, dari hasil uji laboratorium BNN, cairan vape sebagiannya berisi narkotika atau obat-obatan berbahaya lainnya.
Dari 326 sampel yang diperoleh petugas dari berbagai toko penjual vape, BNN menemukan sebanyak 20 sampel atau 6,1 persen mengandung narkoba berbagai jenis.
Baca juga: Saat Vape Jadi Kuda Troya Kesehatan Publik
Jenis narkoba yang paling banyak ditemukan dalam cairan vape adalah ganja sintetis dan etomidate. Selain kedua jenis tersebut, Pusat Laboratorium Narkotika BNN juga menemukan kandungan metamfetamina atau sabu.
Temuan ini adalah temuan serius karena ekspansi penjualan vape tampak tidak terkendali. Di berbagai tempat, vape dijaja dengan bebas. Sementara tidak mungkin bagi penegak hukum melakukan uji kandungan satu per satu.
Kita perlu cemas karena fakta di balik kemasan berwarna-warni dan aroma yang menggoda, vape ternyata menyimpan ancaman serius, yaitu menjadi medium penyalahgunaan narkoba cair.
Kelompok rentan atas peredaran vape adalah remaja. Kerentanan remaja berbanding lurus dengan studi psikologi perkembangan yang menunjukkan bahwa masa remaja ditandai dengan rasa ingin tahu yang tinggi, kecenderungan mencoba hal baru, serta mudah terpengaruh oleh peer pressure atau peer conformity.
Thomas J. Berndt (1979), seorang psikolog perkembangan asal Amerika Serikat yang sangat dikenal karena penelitiannya tentang hubungan teman sebaya (peer relationships), menjelaskan jika konformitas teman sebaya meningkat tajam selama masa remaja awal (usia 12–16 tahun).
Di rentang usia tersebut, kebutuhan akan penerimaan sosial dan identitas kelompok menjadi sangat kuat.
Di berbagai tempat, kita menyaksikan kelompok-kelompok kecil remaja yang begitu asiknya menghisap vape, bahkan mereka kerap bertukar alat hisap tersebut.
Di sisi lain, saat cairan vape ternyata telah dicampur narkoba, remaja bisa menjadi korban tanpa sadar. Mereka tidak menyadari bahwa sekali hisapan bisa berarti memasukkan zat sintetis berbahaya yang merusak otak dan sistem saraf.